"Duh, kenapa sih orang-orang zaman sekarang tuh sibuk banget ngurusin hidup orang lain?!" Zakia berdecak kesal sambil terus menggulir layar ponselnya.
"Kenapa, Kia? Kamu lagi ada masalah?"
"Nggak ada sih, Kak Ana. Tapi aku kesal aja nih sama komentar orang-orang di sosmed." Keluh Zakia.
"Emangnya kenapa?"
"Ini loh, Kak... kan ada Mbak-mbak selebgram umur dua puluh delapan belum nikah, terus komentar di postingan fotonya pada nyindir umur dia mulu. Bahkan ada yang frontal ngatain dia perawan tua lagi." Dengan menggebu-gebu Zakia memberitahukan hal itu kepada Ana. "Nih, Kak Ana baca deh hate comment di akunnya."
Setelah membaca beberapa komentar pedas dari ribuan komentar yang ada di akun tersebut, Ana jadi bergidik ngeri. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ada orang-orang yang dengan mudahnya memberikan ujaran kebencian dan menghakimi seseorang yang hanya mereka ketahui dari dunia maya saja. Padahal, jari yang mereka gunakan untuk mengetik kata-kata jahat itu akan mendapat pertanggung-jawaban saat di akhirat nanti.
"Parah kan, Kak?"
Ana mengangguk. "Zaman sekarang tuh, standar manusia emang tinggi banget. Umur dua delapan belum menikah dibilangnya ketuaan. Tapi giliran umur dua delapan meninggal dunia, pasti dibilangnya masih muda."
"Nah, setuju banget tuh, Kak. Makin ke sini orang-orang emang makin sibuk ngurusin hidup orang. Kayak hidup mereka udah paling benar aja, ih!" Zakia berdesis kesal.
"Kia, ngomong-ngomong aku belum shalat Ashar nih. Kamu aku tinggal bentar nggak apa-apa kan?"
"Oh, iya, Kak Ana. Nggak apa-apa kok, udah biasa." Zakia mengulum senyum.
"Kalo ada apa-apa langsung telepon aku ya. Handphone kamu nggak lowbat lagi kan?"
Zakia tersenyum kikuk lantaran merasa malu karena ponselnya memang sering kehabisan baterai.
"Aman, Kak. Tenang aja."
"Yaudah, aku keluar dulu ya. Kamu hati-hati. Kalo ada orang yang mencurigakan, langsung kabarin aku."
"Siap, Umi!" Jawab Zakia dengan ledekan.
"Ih! Enak aja manggil aku Umi." Demo Ana.
Anak itu hanya tertawa kecil. Menjahili orang-orang dengan karakter seperti Ana memang menyenangkan.
"Aku keluar dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, Umi Cendana. Hati-hati ya. Kalo di masjid ketemu cogan, jangan lupa dibawa ke sini." Teriak Zakia yang masih terdengar jelas oleh Ana hanya direspon dengan gelengan kecil.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Ana memang lebih senang melaksanakan shalat di masjid daripada di apotek. Kini, ia kembali menghampiri salah satu rumah Allah itu untuk segera menuntaskan kewajibannya.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, masjid dua lantai itu selalu sepi. Hanya terdapat seorang pedagang asongan yang sedang berisirahat di teras, dan terdapat sebuah sepeda motor yang parkir di halaman.
Empat rakaat shalat Ashar dilakukan dengan penuh khusyuk. Ana benar-benar ingin mengubah kebiasaan buruknya yang ketika shalat, pikirannya berkeliaran ke mana-mana. Kata orang, lebih baik shalat tapi pikiran ke mana-mana. Daripada ke mana-mana tapi tidak shalat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...