Bagian 7 - Renjana

548 93 15
                                    

Meskipun belum bisa menjadi perempuan sesempurna Sayyidah Fatimah Az-zahra, setidaknya akan selalu Ana usahakan untuk menjadi bagian dari barisan beliau di akhirat kelak. Ana tidak berhenti merasa kagum saat membaca buku yang menceritakan kisah hidup dari Putri Bagindan Nabi tersebut.

Gadis itu merasa tertegun ketika mengetahui salah satu keutamaan Fatimah Az Zahra adalah ; menjadi perempuan yang dikhususkan hanya untuk beribadah kepada Allah, sehingga beliau tidak pernah datang bulan.

"Masya Allah... ternyata sesayang itu ya, Allah sama Rasulullah, sampe anaknya aja diberikan kemuliaan yang luar biasa kayak gini? Coba kalo manusia biasa kayak aku? Nggak menstruasi beberapa bulan aja, pasti bisa kena tumor sama kanker rahim." Ana tersenyum kecil.

Ia melanjutkan aktivitas memabaca itu sambil menunggu Ibunya pulang. Hal ini selalu Ana lakukan hampir setiap hari.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam..." Ana mengembangkan senyum. "Tumben pulangnya telat, Bu?" Ia langsung mencium punggung tangan Ibunya.

"Iya nih, tadi ada sedikit masalah." Ibu Ana langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Raut wajah wanita itu benar-benar terlihat sangat lusuh.

"Mau aku ambilin minum nggak, Bu?"

"Boleh deh. Tolong buatin teh hangat ya, jangan manis-manis, Na. Sekalian tolong panasin air buat Ibu mandi."

"Oke."

Ana langsung berlalu ke dapur untuk membuat segelas teh hangat. Gadis itu diam-diam memerhatikan Ibunya yang sedang memijat pelipis di ruang tengah.

"Pasti Ibu capek banget harus kerja keras setiap hari demi aku."

Matanya memanas. Sebisa mungkin Ana menahan air matanya untuk tidak menetes. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Ibunya.

"Na, kok lama banget? Kamu masih di dapur kan?" Teriak Ibu Ana.

"Iya Bu, sebentar." Ana segara menghampiri Ibunya dengan membawa segelas teh hangat yang telah ia buat. "Ini tehnya, Bu."

"Makasih ya, cantik."

Dengan inisiatifnya sendiri, Ana memijat lengan Ibunya dengan telaten. "Ibu kalo mau makan, lauknya ada di rak yang paling atas ya."

"Kamu masak apa hari ini?"

"Sayur sop sama ayam goreng, Bu."

Ibu Ana mengelus lembut pipi anak bungsunya dengan tatapan dalam. "Na.. maafin Ibu, ya. Gara-gara keegoisan Ibu, kamu harus terpaksa didewasakan sama keadaan kayak begini. Padahal seharusnya kamu cuma fokus sama sekolah, menikmati masa remaja kamu, tanpa harus sibuk membantu Ibu ngurus rumah."

"Ibu apaan sih? Seharusnya aku yang minta maaf sama Ibu. Maaf aku belum bisa cari uang buat bantuin Ibu sama Abang." Ucap Ana.

"Haduuh, kamu nggak perlu mikirin itu, Ana. Buat sekarang, tugas kamu itu cuma sekolah yang benar. Masalah ekonomi keluarga, selagi Ibu masih sehat dan mampu kerja, biar Ibu aja yang nanggung."

Ana langsung memeluk tubuh Ibunya dengan erat. Ia sangat menyayangi wanita itu lebih dari siapa pun. Bahkan dari dirinya sendiri.

"Emangnya Ibu nggak bau keringat ya?"

"Wangi kok." Ana tersenyum samar dalam dekapan hangat itu.

"Udah, udah, Ibu mau mandi dulu. Airnya juga udah panas tuh kayaknya." Ibu Ana langsung berlalu menuju dapur untuk bersih-bersih.

Tidak lama setelah kepergian Ibunya, suara mesin motor yang dimatikan, terdengar dengan sangat jelas dari halaman depan. Ana sudah bisa menebak, siapa orang itu.

Dirgantara & CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang