"Udah shalat belum?"
Anak lelaki berusia remaja itu menggeleng. Ia kembali fokus pada tugas-tugas sekolahnya yang sedang menumpuk.
"Shalat dulu sana. Udah jam delapan tuh."
"Nanti aja, Bang. Lagian, shalat Isya kan batas waktunya lama."
Dirga mengehela nafas. "Yee, dikasih waktu lama sama Allah tuh, bukan berarti kamu bisa nunda waktu shalat seenaknya, Han. Lebih cepat lebih baik. Kalo bisa disegerakan, kenapa harus ditunda?"
Dengan kesadaran penuh, akhirnya Farhan bangkit untuk segera melaksanakan shalat Isya.
"Tugasnya mau Abang kerjain nggak, Han?" Teriak Dirga.
"Kalo Abang nggak sibuk, kerjain aja." Wajah anak itu langsung semringah. "Tugas MTK di halaman tiga puluh tujuh ya, Bang. Nomor tiga sama lima yang belum diisi."
"Oke deh,"
Dirga memutuskan untuk mengerjakan tugas itu sambil menunggu adiknya shalat. Saat ini, ia hanya berdua dengan Farhan di rumah. Papa dan Ibunya serta Fadil belum pulang dari acara makan malam bersama kolega Papanya di kantor.
Mengerjakan tugas sekolah milik Farhan membuat Dirga merasa dejavu. Ternyata, masa sekolahnya sudah berakhir sekitar enam tahun yang lalu.
"Kok jadi kangen masa-masa sekolah gini ya?" Ia tersenyum kecil.
Menjadi dewasa itu banyak sekali kejutannya. Jika memang bisa dan tidak mustahil, Dirga hanya ingin hidup sebagai dirinya di masa kecil sampai masa remaja saja. Ia ingin terus mengulang siklus itu dan memperbaiki semua kesalahannya agar tidak menyesal di masa mendatang.
Tapi sayangnya, hidup akan terus berjalan. Semua masa akan berganti seiring berjalannya waktu. Meski merindukan masa-masa kecilnya dahulu, Dirga harus tetap melanjutkan hidupnya sebagai orang dewasa.
"Abang!"
Teriakan itu membuat Dirga tersadar dari segala lamunannya. Ia menatap bocah laki-laki yang sedang berlari ke arahnya dan langsung duduk di pangkuannya setelah sampai.
"Abang, tau nggak? Tadi aku makan kepiting tau, Bang. Gede banget kepitingnya." Fadil mulai bercerita dengan sangat antusias.
"Terus sekarang mana kepitingnya? Kok, Abang nggak dibawain?"
"Kata Papa, Abang nggak boleh makan kepiting. Nanti muka Abang bengkak."
Dirga tertawa melihat raut wajah Fadil yang menggemaskan saat mengatakan hal itu. Jeda beberapa menit, Papa dan Ibunya datang dengan membawa dua box pizza.
"Assalamu'alaikum..." ucap Ibu Dirga.
"Wa'alaikumsalam," Dirga segera bangkit dan mencium punggung tangan Ibu serta Papanya secara bergantian.
"Farhan ke mana, Dir?"
"Lagi shalat Isya, Bu."
"Kamu sudah shalat Isya?"
"Udah, Bu."
"Ini, tadi Ibu mampir buat beli pizza. Dimakan ya, soalnya Ibu beli banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...