Bagian 17 - Loving

238 72 8
                                    

[2023]

Seorang perempuan yang sedang bertugas menjaga apotek, terlihat fokus menonton video kajian di salah satu channel youtube favoritnya.

Sebuah meteri mengenai kehidupan setelah kematian yang di sampaikan oleh Ustadz dalam video itu, membuat ia kembali bertanya kepada dirinya sendiri, tentang seberapa banyak bekalnya untuk menyambut kematian yang bisa mendatanginya kapan saja.

Mungkin akan terdengar sedikit konyol untuk sebagian orang, tapi bagi Ana, mempersiapkan diri untuk meninggal di usia muda jauh lebih penting daripada mempersiapkan diri untuk menikah di usia muda.

Banyak sekali ketakutan-ketakutan yang kerap kali mendatangi Ana ketika ia mendapatkan ilmu baru dari berbagai kajian yang sering ia tonton atau ia datangi setiap minggunya. Seiring bertambahnya usia, perempuan itu semakin merasa haus akan ilmu agama. Baginya, telat memperdalam ilmu agama jauh lebih baik daripada tidak pernah mau mencari tahu sama sekali.

Pernah suatu ketika, Ana merenungi tentang keyakinan yang ia peluk saat ini. Di Indonesia, mayoritas agama yang dipeluk oleh seseorang merupakan sebuah keturunan. Jika kedua orang tuanya beragama Islam, maka sudah bisa dipastikan jika anak mereka juga akan memiliki keyakinan yang sama.

Lalu, bagaimana jika agama itu harus dicari seorang diri? Ana tidak yakin ia bisa menemukannya sendiri. Ia sangat bersyukur karena terlahir sebagai seseorang yang memeluk agama Islam. Ia tidak tahu bagaimana jadinya jika terlahir tanpa memiliki keyakinan apa pun seperti kebanyakan orang yang berada di Negera maju.

"Assalamu'alaikum,"

Suara itu langsung mengalihkan fokus Ana dari layar ponselnya. Ia tersenyum ramah setelah mendapati seorang gadis berseragam putih abu-abu.

"Wa'alaikumsalam... tumben kamu baru nyampe?"

"Iya nih, maaf ya, Kak. Tadi Kia ada kerja kelompok di sekolahan. Niatnya mau ngabarin Kak Ana, tapi tadi HP-nya lowbat." Gadis bernama Zakia itu langsung menjelaskan.

"Kamu udah shalat Dzuhur belum, Kia?"

"Udah, Kak. Kakak udah?"

"Belum nih. Aku tinggal bentar nggak apa-apa ya?"

"Iya, nggak apa-apa, Kak Ana. Kakak shalat dulu aja, udah jam satu juga nih."

"Aku shalatnya di masjid depan ya, Kia.  Sekalian mau beli makan siang. Kamu mau nitip nggak?"

"Mau dong, Kak. Kia nitip nasi padang pake rendang sama telur dadar ya, Kak."

"Oke."

"Ini uangnya, Kak."

Zakia menyerahkan sejumlah uang yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Ana.

"Kamu simpan aja uangnya buat jajan."

"Ih, nggak mau! Masa iya aku ngutang lagi ke Kakak?" Tolak Zakia.

"Sejak kapan kamu punya hutang sama aku? Udah, uangnya disimpan aja. Aku mau shalat dulu, kalo ada apa-apa langsung telepon. "

Meski Zakia terus memanggil namanya untuk menyerahkan uang, Ana tetap bersikukuh menolak gadis remaja itu. Ia bergegas menuju Masjid yang terletak di seberang jalan. Sebenarnya, apotek tempat Ana bekerja menyediakan ruangan khusus untuk shalat. Namun, Ana lebih suka shalat di masjid karena baginya vibes ibadah di rumah Allah itu jauh lebih tenang.

Dirgantara & CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang