Setelah berhasil mendapatkan nama hotel tempat Danisa menginap selama di Bali, Dirga langsung mengambil cuti selama dua hari untuk menyusul perempuan itu. Kini, ia sudah berada di dalam taksi yang melaju untuk menuju hotel tersebut.
Kedatangan Dirga ke Bali sama sekali tidak diketahui oleh Danisa. Sampai pada akhirnya mereka bertemu di lobi hotel setelah Dirga melakukan check in. Wajah terkejut Danisa sangat kontras dengan ekspresi datar yang Dirga berikan saat kedua pasang mata tersebut saling beradu tatap.
"Kamu ngapain ke sini?" Tanya Danisa pertama kali.
Pakaian yang dikenakan oleh Danisa langsung membuat Dirga membuang muka ke arah lain. Biar bagaimanapun, ia tetap lelaki normal yang memiliki hawa nafsu ketika melihat seorang perempuan yang pakaiannya terlalu terbuka, terutama di bagian dada.
"Kamu mau ke mana pake baju kayak gitu, Sa?"
"Ke pantailah, emangnya mau ke mana lagi?"
"Bajunya nggak bisa diganti ya?"
"Kenapa? Nggak cocok ya, Dir?"
Dirga mengangguk. "Bajunya terlalu jelek buat orang secantik kamu."
Mendengar sindirian berupa pujian itu, membuat Danisa tersenyum kecil.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu ngapain ke sini?"
"Nyusulin kamu."
Kening perempuan itu mengerut heran. "Ngapain nyusulin aku?"
"Soalnya selama ada di sini, kamu lupa sama aku sampe nggak pernah ngasih kabar apa pun." Sindir Dirga, terang-terangan.
"Astaga, aku lupa, sayang."
"Sa, aku perlu bicara sama kamu."
"Nanti aja ya, aku buru-buru banget kalo sekarang. Teman-teman aku udah nungguin dari tadi soalnya."
Danisa hendak pergi begitu saja, tapi sayangnya Dirga sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya.
"Sa..."
"Dir, aku buru-buru."
"Aku mohon, ganti baju dulu sebelum keluar."
"Nggak sempat, nanti makin lama." Tolak Danisa.
"Aku nggak suka lihat kamu berpakaian terbuka kayak gitu, Danisa."
"Terus kamu maunya aku pake gamis buat ke pantai? Ayolah, Dirga, jangan kolot kayak Papa sama Mama aku."
"Kan aku udah bilang tadi, bajunya jelek. Nggak cocok di kamu."
"Tapi aku nyaman pake baju ini. Kalo pun menurut kamu jelek, yaudah. Toh, aku pake baju ini juga nggak buat jalan sama kamu kok. Udah ya, aku buru-buru."
Dirga hanya mampu menyaksikan kepergian Danisa sambil berdiam diri di tempatnya. Ia menutuskan untuk segera pergi ke kamar hotel yang telah ia booking. Tepat ketika Dirga memasuki kamar hotel itu, azan Ashar dari ponselnya berkumandang dengan merdu.
Karena tdak ingin menunda waktu shalat, Dirga segera mengambil wudhu dan langsung melaksanakan perintah Allah yang tertulis dalam rukun Islam kedua itu. Shalat yang Dirga lakukan saat itu benar-benar terasa sangat khusyuk. Di sujud terakhir, hatinya merasa sangat tersentuh.
Ternyata, shalat itu bukan hanya sebuah kewajiban. Tapi, juga sebuah kebutuhan. Jika dahulu Dirga hanya menganggap jika shalat adalah sebuah kewajiban karena ia seorang muslim. Maka saat ini, ia menganggap shalat sebagai sebuah kebutuhan karena ia seorang manusia. Manusia yang membutuhkan arahan serta bimbingan dari Tuhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...