Ana terheran-heran melihat satu kresek cemilan yang Zakia sodorkan ke hadapannya.
"Buat, Kak Ana." Anak itu tersenyum lebar.
"Dalam rangka apa? Tumben banget kamu beliin aku jajanan sebanyak ini?"
"Lagi ada rezeki lebih aja."
"Yang benar nih?"
"Ih! Kok nggak percayaan gitu sih, Kak, sama aku?"
"Ya lagian, kamu aneh banget tau. Dari kemarin kamu kayak ngebaik-baikin aku terus, Kia."
"Nggak boleh su'udzon loh, Kak. Istigfar!" Seru Zakia.
Sadar akan tindakannya, Ana segera mengucapkan kalimat istigfar sebanyak yang ia bisa. Perempuan itu langsung kembali dengan aktivitas sebelumnya yang semula sedang mengecek tanggal kadaluarasa obat-obatan yang berada di apotek.
"Kak Ana,"
"Hm?"
"Aku boleh cerita nggak?" Tanya Zakia dengan sedikit ragu.
"Cerita aja. Aku bakal dengerin kok."
"Aku kan punya teman ya, Kak. Nah, terus teman aku ini ngelakuin kesalahan ke temannya."
"Terus?"
"Terus teman aku ini nggak berani minta maaf secara langsung ke temannya. Dia takut dimarahin. Menurut Kak Ana, dia harus gimana?"
"Ya, kalo dia sadar dia emang salah. Minta maaf secara langsung dong, Kia."
"Tapi dia takut, Kak. Kalo semisal setelah itu hubungan pertemanan mereka jadi rusak gimana coba?"
"Berani berbuat, ya harus berani bertanggung jawab." Ana menatap Zakia dengan serius. "Emangnya kesalahan teman kamu itu besar banget ya?"
"Bagi dia sih biasa aja. Tapi bagi temannya pasti bakal jadi besar banget, Kak."
"Aku boleh tau masalahnya?" Ana jadi penasaran.
Zakia tidak langsung menjawab. Anak itu malah terlihat salah tingkah dan gelisah sendiri.
"Kia," panggil Ana. "Aku nggak boleh tau ya?"
"Masalahnya sepele, Kak. Teman aku cuma nggak sengaja like foto sama follow akun cowok di handphone temannya itu." Ucap Zakia.
"Pake akun temannya itu?"
"Iya." Jawab Zakia, singkat.
"Tapi temannya teman kamu kenal sama si cowok itu?"
"Kurang tau deh. Tapi mereka pernah ketemu sih waktu itu."
Ana hanya mengangguk paham setelahnya. Pembahasan itu tidak berlanjut. Ana dan Zakia sibuk melayani pelanggan yang terus berdatangan satu-persatu.
"Mbak, sumplemen penambah darah ada?"
"Ada, Bu.. mau yang mana?" Tanya Ana dengan ramah.
"Yang biasa aja, Mbak, yang sering saya beli."
"Oh, oke." Dengan cekatan, Ana langsung mengambil sumplemen yang Ibu-ibu itu maksud. "Ini, Bu."
"Harganya masih sana kan, Mbak?"
"Iya, Ibu. Masih sama kok."
"Ini Mbak uangnya."
Ana langsung mengambil selembar uang lima puluh ribu dari Ibu itu dan memberinya uang kembalian.
"Makasih ya, Bu."
"Sama-sama, Mbak cantik." Puji si Ibu, yang kemudian pergi.
"Kak Ana, tau nggak?" Zakia terlihat antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara & Cendana
RomanceHanya orang tidak waras seperti Dirgantara Awan yang berani menyatakan perasaannya saat mendapat tugas untuk membaca teks Undang-Undang Dasar 1945 di hadapan seluruh perserta upacara. Andai saja hari itu ia tidak menyebut nama Gemintang Cendana dal...