Bagian 30 - Dilema

239 65 10
                                    

Bukankah Allah senantiasa menyertakan jalan keluar dari setiap permasalahan? Namun tampaknya, masih saja banyak manusia yang hilang arah kerap kali mendapatkan cobaan di dalam hidupnya. Sama seperti yang Ana rasakan saat ini.

Dua minggu sudah berlalu sejak hari itu. Hari di mana Dirga, dengan segenap kesadaran dan keberaniannya mendatangi kediaman Ana untuk mengkhitbah perempuan berusia dua puluh dua tahun itu.

"Mbak, kok sampean malah melamun? Itu berkasnya berantakan loh."

Teguran itu langsung mengumpulkan seluruh fokus Ana. Ia melangitkan istighfar berulang kali ketika melihat berkas fotokopian miliknya sudah berceceran ke lantai.

"Haduh, haduh... kalo masih magang jangan kebanyakan melamun ya, Mbak." Tegur wanita berusia lima puluhan.

"Iya, Bu, maaf." Ana segera membereskan semua berkas fotokopian itu.

Seminggu yang lalu, Ana baru diterima sebagai bagian dari staf magang di bagian administrasi salah satu perusahaan menengah atas. Seharusnya ia mampu mengesampingkan urusan pribadinya ketika sedang bekerja. Tapi sayangnya, ia tidak bisa. Fokusnya benar-benar terbagi.

"Kamu lagi sakit?"

Suara itu membuat Ana menoleh ke belakang. Seorang lelaki bertubuh tinggi sedang memperhatikannya dengan intens.

"Hey! Kamu lagi sakit ya?" Lelaki itu melambaikan tangannya ke wajah Ana. "Kalo emang nggak enak badan, izin pulang aja sana. Kamu anak magang kan di sini?"

"Nggak, Pak. Saya baik-baik aja. Permisi," dengan sopan, Ana segera berlalu pergi meninggalkan laki-laki asing yang tidak ia kenali dan baru pertama kali ia temui di tempat kerjanya.

Pada pukul empat sore, jam pulang kantor telah tiba. Semua orang tengah sibuk mengemas barang untuk segera bergegas menuju rumah masing-masing. Begitu pula dengan yang Ana lakukan.

"Na, kamu mau langsung balik ya?"

"Iya, Mbak Kiran."

"Kamu beneran nggak mau ikut acara makan-makan dulu, bareng anak-anak admin yang lain?"

"Maaf banget, Mbak, saya beneran nggak bisa ikut. Mungkin dilain kesempatan, insyaallah saya bakal ikut."

"Yaudah deh kalo gitu. Kamu hati-hati ya baliknya. Mbak duluan," perempuan itu lantas pergi meninggalkan ruang admin bersama beberapa rekan lainnya.

Ana hanya bisa menyaksikan kepergian mereka sambil tersenyum kecil. Ia sangat bersyukur karena bisa mendapatkan perekerjaan di saat ia belum resmi menjadi sarjana. Dan rasa syukur itu semakin bertambah ketika Allab menempatkan Ana di lingkungan kerja yang sangat positif.

Sebelum pulang ke rumah, Ana memutuskan untuk melaksanakan shalat ashar terlebih dahulu. Untung saja di kantor tempatnya bekerja ada mushola yang berdiri kokoh di samping gedung kantor.

Ia melaksanakan shalat seperti biasa. Empat rakaat dijalaninya dengan begitu khusyuk. Akhir-akhir ini isi pikiran Ana benar-benar tidak terkontrol. Banyak sekali pokok permasalahan yang membelenggu memenuhi ruang kepalanya.

Dan masalah utama yang sedang ia sematkan di dalam pikirannya hanyalah tentang dia, Dirgantara Awan. Nama itu selalu menghantui Ana setiap hari. Ana sudah beberapa kali melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah. Namun sayangnya, ia masih belum menemukan jawaban apapun.

Dirgantara & CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang