Bagian 8 - Harsa

460 85 18
                                    

Brugh!

"Allahu akbar!"

"Astagfirullah!"

Keduanya sama-sama terpekik ketika tubuh mereka terpental ke aspal secara bersamaan.

"Na, kamu nggak apa-apa?"

Ana tidak langsung menjawab pertanyaan Abangnya. Fokusnya hilang selama beberapa detik. Ia benar-benar blank.

"Na," Gama menggoyangkan pundak adiknya.

"Tangan aku sakit, Bang."

Saat itu juga Gama baru menyadari bila baju putih yang adiknya kenakan telah robek di bagian lengan kiri dan menimbulkan bercak darah. "Na, tangan kamu berdarah." Gama yang panik melihat kondisi adiknya, segera bangkit dan memapah tubuh Ana ke pinggir jalan, serta memindahkan motornya.

"Abang kenapa sih tiba-tiba banting setir ke kiri? Sakit tau bang jatuh di aspal gini."

"Ban motornya pecah, Na. Tuh kamu liat aja sendiri." Gama menunjuk ban motornya yang memang sudah dalam keadaan rusak parah. "Untung kita cuma jatuh doang."

"Cuma? Abang bilang cuma? Liat nih, lengan aku sampe berdarahan. Perih tau, Bang!" Ana sedikit kesal dengan Abangnya. "Tau gini, mending tadi aku bawa motor sendiri aja."

"Yaudah sih maaf. Lagian ya Na, yang namanya musibah tuh nggak pernah tertulis di kalender. Kita mana tau kalo kejadian ini bakal menimpa kita." Ceramah Gama.

Setelah dipikir-pikir, ucapan Abangnya memang benar. Seharusnya Ana tidak terlalu kasar kepadanya, karena lelaki itu pun tidak dengan sengaja membuat mereka jatuh.

"Kamu masih lama nggak masuknya?"

Ana melirik jam tangannya. "Sekitar lima belas menitan lagi sih. Kenapa?"

"Setau Abang daerah sini nggak ada bengkel. Kayaknya kalo nungguin Abang ganti ban, kamu bakalan telat."

"Yaaah... terus aku gimana dong ke sekolahnya? Masa harus absen hari ini?"

"Naik angkot aja mau nggak? Kamu berani kan kalo naik angkot sendirian?"

Saran itu langsung Ana tolak mentah-mentah. "Nggak deh, Bang. Angkot mah kebanyakan stopnya. Mending aku jalan kaki aja, udah lumayan dekat juga kok." Kata Ana.

"Nggak, nggak! Abang mana tega liat kamu jalan kaki sampe sekolahan." Abangnya langsung menentang keras.

"Ya terus aku gimana? Kalo begini terus, yang ada aku malah telat beneran."

"Naik ojek aja ya?"

"Emang di sini ada pangakalan ojek, Bang?"

"Nggak tau sih. Bentar, Abang lihat-lihat dulu ke depan sana. Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Gama berjalan meninggalkan Ana untuk mencari ojek.

Gadis itu memutuskan untuk membersihkan lukanya dengan sisa tisu yang ia miliki. "Ya ampun, perih banget."

"Ana?"

Untuk sekejap saja, Ana merasakan bila tubuhnya mematung menatap seseorang yang turun dari motor matic hitam di hadapannya. Dia, Zidan.

Dirgantara & CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang