34# Penggalan Terakhir

114 11 0
                                    

Mulanya aku sangat yakin akan memilik hamba-Mu
Tapi keyakinan itu runtuh ketika ada hati lain yang sedang menjaganya
Aku tidak terlalu baik tapi tidak cukup jahat juga untuk merusak dongeng wanita lain
Yang mungkin dengan wanita tersebut, hamba-Mu bisa jauh lebih bahagia.

***

Kerap kali aku merasa tidak mengerti dengan permainan logika semesta. Semua kejadian dapat berjungkirbalik dalam satu kejapan mata. Tak jarang bom-bom waktu siap meledak kapan saja dan yang kuyakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebab Allah selalu memberikan pilihan dan tugas kita untuk menjalani rangkaian takdirnya.

Perihal mencintai seseorang bukan tentang memiliki dan hidup bersama selamanya. Memiliki tetapi melukai satu sama lain akan memupuk beban, atau hidup bersama yang eksistensinya memiliki kebutuhan yang berbeda kian sia-sia.

Siang itu, aku sangat berterima kasih untuk pertemuan singkat yang sangat mengesankan. Afif Chandra Pradipta, melihatnya menjadi laki-laki yang dewasa, aku sangat bersyukur. Aku sadar diri, semua kesempatan telah aku buang demi masa depanku. Aku benar ingin menemuimu, Afif, tapi ada penjaga hatimu yang tidak mungkin untuk aku hancurkan. Patah hati pun sudah terbiasa mampir di hatiku. Tidak perlu khawatir dengan perasaanku. Aku sudah cukup dewasa dalam menjinakkan rasaku.

Aah, Narisa! Belum tentu juga Afif peduli dengan rasamu.

***

Pagi ini menjadi pagi terakhir aku di rumah. Rasa rinduku baru juga terlepas tapi sudah harus menahan kembali. Malaikat-malaikat memang sering membuatku merindukan mereka.

"Assalamu'alaikum Ibu," kataku sambil membuka pintu.

Aku meletakkan kantong plastik yang berisi sayuran di atas meja lalu mengambil satu cangkir air putih.

"Udah pulang Sa?" tanya Ibu yang baru muncul dari kamarnya.

Aku memeluk Ibu dari belakang yang hendak mencuci piring. Aku mengeratkan pelukan tersebut, sedangkan Ibu mengelus kedua tangannku yang tidak ingin melepasnya sekarang. Entah sampai kapan aku terus ingin memeluk Ibu. Besok hari keberangkatanku ke Penang, hatiku sangat berat meninggalkan Ibu sendiri di rumah ini. Jiwaku merontak tidak ingin pergi, tetapi logika selalu berbicara 'biaya kuliah Naufal... biaya kuliah Naufal... biaya kuliah Naufal'.

"Isa sayang Ibu," ucapku manja.

Ibu melepaskan pelukanku dan berbalik arah memandang kedua mataku.

"Isa pengen disini?" tanya Ibu dengan intens.

Aku masih menundukkan kepala, bagaimana bisa aku mengatakan takut dan sangat kesepian tinggal sendirian disana. Aku hanya akan memperumit keadaan.

Aku menguatkan hatiku agar tidak terpancing suasana mellow ini.

Aku menggelengkan kepala. "Isa gak suka tinggal disini, semua kebutuhan Isa gak ada. Disini gak ada perpustakaan yang bisa Isa kunjungi buat ngabisi waktu dengan novel-novel terbaru, gak ada juga café ala-ala pengejuk jiwa buat nulis, terus jauh dari tempat-tempat wisata. Pokoknya serba susah," ucapku penuh dengan kebohongan-nyatanya disini aku bisa mendapatkan semuanya, dengan tinggal bersama Ibu di rumah peninggalan Ayah-.

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang