33# Kisah Afif

126 14 5
                                    

Makhluk bumi yang paling menakutkan itu manusia
Pikiran mereka terlalu kacau, keinginan menang luar biasa
Melukai menomor satukan egonya
***

Ada banyak permasalahan yang tidak bisa langsung dijelaskan. Mungkin bisa bulan depan, tahun depan, ataupun nanti, ketika kita lelah mencari alasan tersebut. Aah! Bumiku melemah lagi. Patah, sakit, lelah, frustasi, dan serupanya. Tidak ada habisnya. Satu tahun aku sembunyikan rapat perasaanku, tepatnya bukan sembunyi tapi mempertimbangkan. Aku percaya apa yang ditakdirkan padaku akan tetap kembali sejauh apapun melangkah. Bisa jadi aku kembali karena sudah takdirku.

"Apa dia Afif?" tanya Rexa dan aku langsung mengekori tatapan Rexa.

Laki-laki yang berperawakan rapi itu tengah mengobrol dengan rekannya. Mataku terbelalak dan tidak percaya. Aku langsung menarik Rexa untuk menuruni gedung ini.

Allahu Akbar! Kenapa bayang-bayang Afif selalu hadir dan melemahkan hatiku. Tidak bisakah bumiku tidak bergetar seperti ini?

Tanpa aku sadari, mata elang Afif di sudut sana berhasil menangkap aksi melarikan diriku. Diapun berpamitan dengan rekannya tersebut dan mengejarku dengan cepat.

Jantungku berdetak kencang. Entah karena apa? Bisa jadi karena Afif, bisa juga kelelahan melarikan diri. Aku menduduki tubuhku yang mulai kehabisan tenaga. Bayangkan saja aku harus turun dari lantai tiga dengan menggunakan tangga.

Apakah kita harus bertemu lagi seperti hari itu, Fif?

Apakah pertemuan ini akan menjadi lebih baik lagi walau hanya khayalan?

Tubuhku bergetar dan semua organ tubuhku sekongkol untuk melemah saat ini detik ini juga.

"Narisa?" suara itu milik Afif.

Aku mengalihkan pandanganku yang mengabur pada sumber suara. Benar, laki-laki itu, dia adalah Afif Chandra Pradipta. Mata senduku mulai mengamati setiap lekukan wajah Afif sesaat. Masih sama, di gedung ini dalam rangkaian kegiatan seminar. Kami dipertemukan kembali.

"Kak Isa, Rexa susul Naufal diatas ya," Rexa menyadari kami berdua butuh banyak waktu untuk saling memahami kembali.

Aku mengangguk pelan pada Rexa dan beberapa detik kemudian Rexa sudah tidak terlihat diantara kami- aku dan Afif.

Kedua tanganku bertaut melawan kegundahanku selama ini. Hening, seperkian menit. Hanya siuran angin melintas disekujur tubuh.

"Sa.." nada panggilan khas yang sangat aku rindukan selama ini. Aku tidak tahu dimana letak istimewanya Afif menuturkan namaku, hanya saja aku terlanjur terpesona dengan nada lembut bicara Afif.

Aku sudah mengalihkan tatapan intensku pada Afif tadi. Aku melakukan ini lagi, membuang muka bahkan tidak berani menatap Afif lagi. Aku takut jantungku akan berhenti ketika aku larut dalam senyuman Afif. Cara kerja wajah Afif luar biasa bukan?

Afif berdiri diam di belakangku. Tidak satu dari kamipun berusahan untuk membukan obrolan. Seakan diam seperti ini saja sudah cukup tapi aku tidak mungkin untuk melakukan kesalahan berdiam diri lagi.

"Afif, apa kabar?" ucapku.

Afif tersimpul kecil.

"Berhentilah melakukan ini, Afif. Jangan membuat jantungku semakin tak berarah," batinku.

"Ya gini aja Sa. Alhamdulillah sehat. Kamu apa kabar?" Jawab Afif.

"Alhamdulillah sehat Fif,"

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang