7# Runtuh!

540 31 2
                                    

Ya Allah, semoga apa yang kulakukan selalu diberkati-Mu. Jika itu mulai berada di zona yang salah, maka kembalikan aku di zona tepat-Mu.
***

Aku baru saja berhenti di kelas yang terletak di lantai dua gedung jurusanku. Tidak seperti hari biasanya, aku terlambat bangun atau tepatnya aku terlelap lagi ketika selesai menunaikan ibadah subuh. Aku memasuki kelas yang sudah dipenuhi banyak mahasiswa dan berjalan cepat menundukkan kepalaku. Seperti inilah aku di tengah keramaian, menutup diri sebisa mungkin.

Yah, beruntungnya aku sekarang tidak punya kesempatan lagi untuk memilih tempat duduk, bangku-bangku paling belakang terisi penuh. Pasti yang datang lebih dulu akan memanjakan kantuknya di bangku bagian belakang. Mengingat mata kuliah hari ini memancing penglihatan untuk memburam.

Aku duduk di bangku terdepan dan bergeser ke bagian dekat dinding. Hamba akan bersiap diri dahulu untuk menjauhkan rasa kantuk nanti. Aku mengambil buku berisi materi yang selalu aku catat saat para dosen menjelaskan. Pada selipan lembaran buku catatanku, sebuah foto keluarga terselip. Ah, Aku ingat, mungkin semalam aku ketiduran sehingga foto itu terselip di buku catatanku. Malam tadi, rindu menyapaku, sehingga aku membenamkan pikiranku bersama selembar foto tersebut. Aku kembali larut dalam kenangan manis dan mengakibatkan ketidaksadaranku saat bangku di sebelahku sudah diduduki seseorang.

"Jangan dipelototin doang." Aku terkejut dan menatap lelaki disampingku. "Itu calon mertua aku ya," godanya yang sudah mendominasi meja sebelahku.

Dia tertawa ketika aku hanya terdiam kikuk. "Bilang Aamiin aja susah, Sa. Gak bakal keselek kok Aamiinnya kalo kamu sebut," Afif menyengir usil padaku. "Lagi rindu sama keluarga?"

Aku bergegas cepat menyimpan foto tersebut dan menutup buku catatan.

"Kalau rindu ditelpon aja, Sa." Dia seolah-olah menasihatiku.

Aku hanya membuang nafas tidak peduli.

"Ambil paket nelpon biar lebih hemat, Sa." Dia berkata tidak sepertinya, sedikit tanpa ekspresi. "Biasanya kalo orang tua pake telkomsel kan?" Dia berkata padaku lagi tetapi tidak mengharapkan jawabannku.

Afif tiba-tiba mengambil paksa ponselku, setelah dia mencuri ponselku dia membuka suara lagi. Aku bilang mencuri kenapa? Karena dia mengambil paksa, tepat bukan?! "Bagus ini! Kamu juga pake telkomsel Sa. Jadi gak bakal mahal telponan?"

Aku merasa sedikit tersinggung dengan ucapannya.

HAH! Apa pentingnya kartu yang aku pakai sekarang!

Aku menggeram kesal lalu berusaha menetralisasikan raut wajahku yang hampir meledak. "Tahu apa kamu mengenai apa yang harus saya lakukan!" Aku berdecak kesal.

Afif datang tidak tepat waktu. Aku tidak bermaksud untuk berkata sekasar itu, tapi aku sedikit terpancing emosi dengan pernyataan yang telak mengenaiku. Andai saja satu deringanku, bakal diangkat cepat oleh keluargaku, maka berapapun tarif telpon itu akan ku bayar cash, gak kredit.

Ah apalah ucapanku ini.

Afif sedikit heran dengan cara berbicaraku yang menaik.

"Wuiih seriusan banget, Sa. Santai, gak usah ngegas." Afif masih berkata dengan gaya habitnya yang terlalu santai.

"Saya gak ngegas kok," ucapku datar.

Afif menatapku tersenyum. "Narisa, aku bisa bedain yang mana lagi marah atau biasa aja," benih bola mata Afif merangsang kesejukkan hatiku.

Aku menyadarkan diriku secepat kilat.

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang