5# Selamat Datang di Bumi Narisa

525 37 7
                                    

Karena sejatinya jika dia bukan tempat pelabuhanmu maka duka tidak akan segan mengikis kalbu. Kasihanilah sang kalbu yang harus menanggung perbuatan gilamu.
***

Aku terpaku sambil menganalisis hal yang sedang terjadi di ponselku. Aku tidak mengerti tetapi aku tentunya menikmati yang terjadi. Pada ponsel yang mempunyai layar ukuran tidak terlalu besar, entahlah kiranya berapa inch aku tidak terlalu ingin mendiskusikannya, cukup memuaskan dengan apa yang sudah terpajang jelas, chat line.

'Hai'

Hai, bagaimana kata itu dapat membuat hatiku menjadi tersenyum-senyum dan bagaimana juga jantungku berdetak tanpa ada ritme sedikitpun. Kata ajaib apa itu? Maha dahsyatnya! Aku merasa takut untuk memulainya tetapi aku juga tidak ingin membuang kemenangan kali pertama dalam hidupku. Mubazir bukan?

'Hai juga.'

Setelah mengetik dua kata tanpa pikiran panjang itu, aku langsung melemparkan ponselku keatas kasur. Seakan-akan ponsel itu segera meledak. Sudah gila, aku tidak tahu kenapa semua seperti terasa sangat geli saat aku mengandai-andai hal indah tentangnya. Aku hanya tidak sanggup saja jika nanti dia langsung membalas cepat dan aku pastinya mati kutu untuk memikirkan jawabannya lagi.

Aku mematikan ponselku dengan sengaja untuk memberikan sedikit ruang diriku mengatur dentingan keras di jantungku. Seperti inikah rasanya terbunuh oleh kekuatan cinta?!

Aku tidak ingin lagi memikirkan banyak persepsi yang tidak memiliki kebenaran, sehingga aku melarikan pikiranku dengan cara membersihkan kosanku lalu mencuci baju-baju kotorku, walaupun hanya dua pasang. Aku perlu mengalihkan pikiran dari dia, Muhammad Redo Julinaldi.

***

Hari itupun berlalu dengan cepat. Tidak terlalu ada perkembangan pesat, hanya kata sapaan dalam batasan sopan santun yang terucap. Aku mulai biasa dengan segala jenis perasaanku padanya. Mulai dari tersenyum saat membalas chit-chat dari Redo, kemudian kegundahan menunggu balasan pesan dari Redo, dan yang paling biasa sebuah hasrat untuk membangun sedikit demi sedikit istana untukmu di hatiku. Untukku, tidak sulit untuk memberikan separuh bumiku padanya.

"Narisa cukup!" Aisyah menyela ceritaku.

Aku mendengus kesal. "Syah, aku lagi seru ceritanya."

Aisyah tiba-tiba mengubah raut wajahnya sedikit takut. "Sudah sampai berapa jauh perasaan kamu, Narisa?"

"Maksudnya?"

"Narisa, sekali lagi tolong jangan terlalu dalam menjatuhkan hati."

Aku tersenyum miris. Sebenarnya aku juga tidak tahu sudah masuk dalam fase apa perasaanku saat ini. Aku bahagia ketika mengobrol lama dengannya di chat, aku juga selalu menantikan kabarnya di deringan ponselku tiap waktu, dan aku juga merasa lupa semua hal ketika sudah bercuap-cuap denganya di ponsel.

"Sekarang aku bahkan tidak ingin melewatkan sedikitpun kabarnya." Balasku dengan senyuman pasrah.

Aisyah menepuk pelan pundak kiriku dengan satu tangannya. Dia tersenyum lirih padaku lalu menatap nanar pada nasibku.

"Kau ingin mendengarkan ceritaku lagi?" Tanyaku seolah-olah masih belum puas untuk mengungkapkan semua kesenanganku pada Aisyah.

Karena hanya Aisyah yang akan mendengarkanku.

Aisyah mengangguk pelan kemudian aku kembali bercerita panjang kali lebar di waktu senja hampir menyapa penghuni bumi ini. Aku bercerita mulai dari saat Redo mengchatku kali pertama, dimana Redo menanyakan namaku, apa yang sedang aku lakukan? Jurusan apa aku? Asal kotaku? Tempat kosanku yang ternyata Redo ketahui berdekatan dengannya? Dan masih banyak hal yang kami tukar bersama. Bukan tukar bersama, tetapi aku bagikan padanya.

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang