8# Bumi narisa sakit

477 26 1
                                    

Untuk kita...
Yang terlalu mencintai dunia.
***

Hari ini, diriku mengembara terlalu dalam. Berlama-lama menahan sosok ciptaan-Mu yang tak akan pernah tersentuh olehku. Aku tidak bisa mengirim dia pergi sekarang ataupun esok hari. Hatiku memar, jiwaku berteriak. Tidakkah dia mendengar jeritan di bumiku? Seandainya saja aku mampu melupakan semua luka ini, seandainya aku bisa menyembuhkan duka diatas penalaranku, maka aku akan sehat.

Aku krisis berpikir untuk menempatkan hati. Ada yang sulit dilakukan jika dalam diri kita tidak ada kemauan untuk berubah, kemauan yang kuat untuk belajar menerima. Begitupun jiwa menjadi merana sepanjang malam. Berkali-kali kata maaf terucap di bibirku ini. Ini sebuah peringatan bukan? Aku sudah berjalan diluar batasan yang kau buat, Ya Rabb. Isakan demi isakan terus setia mengisi malamku. Aku tidak tahan lagi. Dapatkah rasa ini kau hilangkan, Ya Allah?

Malam ini, aku benar-benar hilang akal. Aku berdiam diri di atas kasur. Menatap datar langit-langit kamar. Beribu do'a aku panjatkan untuknya, berjuta jarak aku tempuh untuknya, dan seluruh bumiku serahkan untuknya. Inikah yang salah? Bukankah Allah maha pencemburu pada hambanya? Aku terlalu banyak memberikan hatiku untuk berharap pada ciptaan-Nya. Aku sedang diberi peringatan keras. Ikhtiar dan do'a dariku terlalu banyak untuk kaum adam itu. Aku diperintahkan sekarang untuk merenungi perbuataanku.

Yang terjadi sungguh diluar kendali. Otakku sudah tidak terkontrol lagi. Mesinnya terus bergerak menyusuri tiap inci kehidupan Redo. Jikalau bahan bakarnya habis, secara otomatis akan terisi daya penuh dengan sendirinya. Cukup sudah terlalu banyak bayangan Redo menemani malamku.

"Narisa tahu dari awal rasa ini sudah salah, Ya Allah. Narisa juga tahu tidak akan ada akhir yang bahagia untuk rasa yang salah. Tapi bolehkah aku memohon untuk akhir yang bahagia pada rasa yang salah ini?" Perlahan-lahan bibirku sudah mulai tidak waras lagi bertutur. Dimana-mana jika itu salah ya tetap salah.

Selamat malam pada malam yang bersahabat padaku.

Malampun ikut murka saat ini. Suara gemuruh guntur terdengar di kejauhan dan angin mulai bertiup kencang menghempaskan atap seng di rumah tetangga sebelahku. Malam sudah mengusir para bintang-bintang bermain riang. Sebentar lagi malam, akan menyuruh langit menggambarkan perasaan kabutku. Deraian hujan mengejar dari ujung timur menyerbu bumi yang sedang beristirahat. Aku, si tuan bumi dalam pikiranku dan bumi semesta ini milik-Nya. Aku meminta teramat tulus pada-Nya biarkan bumi semesta-Nya memiliki nasib yang sama padaku, hanya saat ini. Turunkanlah segala air mata langit dan diriku yang ada, maka sesudahnya bantu aku seperti langit untuk kembali cerah lagi, Ya Allah.

***

Selamat pagi hati yang mendamba sapa.

Selamat pagi untuk kamu yang merasakan patah hati.

Tersenyumlah meskipun itu tetap tidak dihargai.

Tidak banyak yang aku lakukan, duduk dan membenamkan tubuhku di pohon belakangku. Kini aku sadar menjadi dewasa itu sulit. Aku menutupkan kedua mataku menikmati kerindangan dedaun nan hijau.

"Yaelah dipikir kemana? Eh malah asik pacaran sama pohon," gerutuk Aisyah meletakkan tumpukan bukunya disampingku.

"Ais, aku menjijikan," timpalku semakin tidak karuan.

"Gak ngerti aku." Aisyah kesal dengan tingkahku yang seakan sudah mati.

Mati rasa!

"Disini aku ada, tapi di dalam aku tiada." Aku memejamkan kembali mataku yang sempat terbuka tadi.

"Masih sakit?"

"Banget," jawabku singkat.

"Dia masih bertahta di hatimu, Sa?"

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang