2# Can I start?

959 54 15
                                    

'Aku memulai tanpa peduli kisah akhirnya.'

Aku menghidupkan laptopku yang akan segera digunakan untuk presentasi kelompokku. Saat inilah yang sulit bagiku, saat aku harus berbicara di depan dan menjadi pusat perhatian teman dan dosenku. Tampilan layar depan desktop-ku sudah terpapar terang oleh LCD Proyektor di kelas.

"Wow, Alhamdulillah ukhti Dina," goda iseng dosen yang sedang mendapatkan bagian mengisi kelasku. Dosen ini memang terkategori dosen yang cukup santai, sering bercanda, terus gak pelit nilai dan pastinya kami, para mahasiswa menyukai dosen seperti ini.

Semua mahasiswa terkekeh pelan pada Dina, teman kelasku, yang mana cukup handal dalam public speaking tersebut masih kena goda oleh dosen saat itu.

Teringat juga, Dina belum berhijrah untuk menutup auratnya dan juga bukan sama sekali tipe-tipe wanita puitis. Klop sekali! Presentasinya diawalin tampilan layar depan muslimah yang sedang bersujud di atas sajadah dengan kalimat 'Pada sajadah yang terbuka ini akan kusempurnakan cinta' kalau tidak salah ini salah satu quotes dari Bunda Asma. Tapi aku lupa pada novel apa. Entahlah.

Kembali pada kasus kepuitisan. Terlalu puitis tulisan itu untuk ukuran seorang Dina. Perlu diketahui, sesungguhnya laptop itu milikku. Oh beruntungnya aku, perkara dosenku tidak menyadari laptop itu milikku, tetapi, tetap saja temanku pasti tahu bahwa sang pemilik laptop yang sok puitis itu adalah aku. Semua temanku tertawa entah karena tampilan layar depan yang alay pada laptopku atau candaan dosenku pada sosok luar biasa, Dina. Aku tak tahu, intinya aku tidak peduli.

Setelah puas dengan segala jenis tawa yang dikeluarkan, semua makhluk hidup di dalam kelasku kembali lagi fokus pada presentasi kelompokku. Iya, sekarang suara Dina sudah mendominasi lagi seisi kelas itu, walaupun sempet bergantian denganku tetapi ketahuilah jika aku berbicara pasti sangat sedikit, dengan baik hatinya Dina menambahkan penjelasan pada materiku. Selain karena dia seorang moderator yang memang berkewajiban memimpin jalannya presentasi, Dina terbilang cukup sering membantu teman yang memiliki kendala dalam proses belajar-mengajar, termasuk aku yang pelit berbicara.

Tiba-tiba dosen menginterupsi ketika Dina masih menjelaskan, sepertinya dosen itu sudah lelah mendengar suara Dina.

"Oke, stop untuk materi Dina. Lanjutkan pemapar selanjutnya. " perintah dosen itu sambil menulis-entah apa yang ditulis mungkin penilaian dalam buku hitam yang sering berada di tangannya.

Dina berjalan ke belakang dan duduk di kursi dekatku. Kebetulan aku yang berada di depan laptop, otomatis aku bertugas menjadi operator dalam presentasi. Aku memindahkan pada slide selanjutnya. Pemapar selanjutnya maju ke depan dengan langkah yang cukup berisik. Dan, aku rasa dia sengaja untuk menimbulkan kebisingan disekitar.

Seketika semua manusia di dalam kelasku tertawa lepas. Suara tawa lepas dengan cepatnya di dalam ruangan tersebut. Tawa ricuh sudah berhasil memecahkan keseriusan presentasi saat itu. Siapa lagi penyebabnya jika bukan, AFIF! Laki-laki itu terlalu suka mencari perhatian.

Looks! Apa maksudnya dia maju ke depan dengan memakai peci di kepalanya? Afif memang pemapar selanjutnya. Bukannya aku tidak suka melihat laki-laki berpeci tetapi menurutku dia sedang memainkan benda yang sangat mulia. Benda itulah yang mempertampan dirinya ketika dia menghadap Pencipta-Nya.

"Tadi Dina udah jadi ukhti-ukhti, apa sekarang giliran Afif yang jadi ustad?" Dosen menggoda Afif dengan sindiran khasnya, yaitu matanya yang menatap sangat tajam namun tampak lucu.

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang