Lucu ketika sebuah ketulusan mampu membuat kita berduka sepanjang masa
***
Teruntuk, Afif Chandra Pradipta,
Selamat datang di bumiku, aku harap kau tidak hanya berkunjung tetapi berusaha untuk tinggal. Seperti yang banyak orang ketahui, aku tidak sepolos dan sesuci seperti yang ada di pikiranmu sekarang. Aku liar, Fif. Dalam artian, aku juga manusia yang pernah merasakan manis pahitnya kata cinta. Batinku sudah ternodai oleh perasaan salahku pada hamba-Nya. Aku selalu mendambakan sosok suci itu mengunjungi bumiku dan menghidupkan pernak-pernik dalam bumiku. Tapi, aku salah menjatuhkan hati. Tibalah kau melabuhi pelabuhan hatiku dan mencuri ruang kecil untuk menyelinap dalam bumiku, dimana akupun merasa ragu atas perasaanku sekarang meskipun aku tahu, kau juga tidak pasti jatuh hati padaku.
***Mampu tidaknya aku sekarang, aku harus menemui sosok tersebut. Berkali-kali aku melantunkan ayat-ayat penguat batin, aku tidak boleh rebah. Belakangnya ini kerap sekali aku rancuh dengan keyakinanku sendiri. Allah tidak akan membiarkan hambanya terluka parah, jikalau hambanya selalu menjauhi larangannya. Saat ini, aku sedang dilarang berharap pada ciptaan-Nya.
"Narisa!"
Aku mempercepat langkahku tetapi Afif berhasil mencengkram tanganku.
"Kok buru-buru sekali?" tanyanya.
Aku meloroh tanganku dicengkramannya.
"Fif, aku mau ketemuan sama temen aku sebentar ya."
Afif mengamati kedua bola mataku, sedangkan aku langsung tertunduk.
'Tentu saja aku takut kalo Afif tahu aku bohong'
Melihat tingkahku yang sudah tidak nyaman dengan tatapannya, Afif langsung mengalihkan pandangannya.
"Aku temeni?" tawar Afif.
Aku menggigit bibirku.
"Gak usah Fif nanti kita ketemuan aja di parkiran," sambarku dengan cepat.
Aku hampir membalikkan badanku membelakangi Afif, "aku bisa minta tolong?" suara Afif terdengar sangat syaduh di telingaku.
Aku mengernyitkan pelipisku, tidak mengerti maksud Afif.
"Serumit dan sesulit apapun itu, tolong selesaikan segera Sa."
Aku bingung dengan kalimat Afif tapi aku tidak menggubrisnya. Aku tahu betul jika aku menggubrisnya maka urusan akan sangat panjang. Sepanjang rel kereta api yang tak berujung.
Aku menuruni tangga dengan cepat karena waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku harus cepat agar aku bisa bertemu dengan Redo. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan aku katakana nanti di hadapannya, hanya saja aku ingin semuanya menjadi jelas. Sejelas-jelasnya tanpa ada yang tertutupi lagi.
"Al Zena Narisa Tsabiyyah."
Suaranya? Aku menyukai!
Bahkan aku masih terpanah.
Aku membalikkan badannya dan menatap lirih pada sosok laki-laki di hadapanku sekarang.
"Redo tetap saja menggetarkan hatiku," batinku.
"Lagi sibuk ya?" Redo membuka obrolan pertama kali, sedangkan aku masih menatap kagum.
Sesaat...
Aku memang termenung sejenak.
"Gak juga," balasku.
"Gimana kabarnya, Sa?" Apa dia sepeduli itu denganku atau ini hanya basa-basinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Night Earth
General Fiction#1 in fiksiumum 27 Juli 2019 Cinta bertepuk sebelah tangan Narisa kepada Redo bak deburan ombak yang senantiasa tiap saat menampar pipi merahnya. Narisa dengan sabar menitipkan hatinya kepada Redo. Ketika dia tengah berharap pada nikmat yang dicipta...