Salam semesta!
Aku ingin bercerita padamu mengenai pengunjung pertama bumikuAda sebuah rasa yang jatuh pada pandangan pertama
Semulanya rasa yang aku agungkan itu sangat istimewa
Lama terlamakan rasa itu berubah menjadi beban, menyeruak jadi penyakit
Yaitu penyakit hati yang menghabiskan energi positifku
Aku takut, resah membunuhku
Penyakit tersebut sering dinamakan jatuh cinta
Padanya, pengunjung bumiku
Selamat!
Kau sukses buat aku mendelusi berlarut-larut.
~~~~~~~~
****Setidaknya diberikan kesempatan dalam memaknai kebahagian lebih dalam menjaga hati. Tidak mematikan siur-siur angin di atas bukit, kakiku terus berjalan cepat mengikuti langkah besar kaki di depanku. Lebih mensyaduhkan ternyata ketika memandang punggung tegapnya dari belakang. Pemilik punggung itu terlihat sangat tenang dan kokoh. Tidak seperti dia biasanya. Lelah karena tanjakan menuju masjid di atas, tentu saja tidak terasa. Kakiku terus berjalan mengiringi laki-laki yang sedikit lebih duluan dariku.
Afif, dia terlihat sangat tenang dari belakang. Tubuhnya yang tinggi mendominan bahwa dia memiliki kaki cukup panjang. Lihatlah, dia memasukkan kedua tangannya di saku dengan langkah kaki yang santai. Apa yang terjadi padaku? Semulanya aku masih bisa tersenyum sambil berusaha mempercepat jalanku, lalu di detik akhir aku mulai ngos-ngosan karena tanjakan cukup tinggi nan menerjang.
Aku tersenyum bahagia saat kubah masjid sudah dapat aku pandang lebih dekat. Tidak ramai namun ada beberapa jama'ah lainnya. Mungkin karena banyak pengunjung berkebangsaan Tionghoa jadi masjid di sini tidak terlalu ramai seperti di Depok. Sedikitnya kaum Muslim tentu saja tidak mengurangi tanggung jawab untuk menjaga masjid tersebut. Orang di sini memang luar biasa! Selalu menjaga kebersihan dan kedamaian di sekitar. Masjid yang terbilang lumayan besar di Penang Hill sangat terjaga dengan tatanan bentuk yang rapi.
Afif masuk lewat pintu samping sedangkan aku masuk lewat pintu depan. Kami berdua langsung menuju shaf masing-masing. Entahlah aku sepertinya sedikit menyukai situasi ini. Ohiya, kabar teman-temanku, mereka sudah lebih dulu menunaikan kewajiban. Sebenarnya, kami tadi terpencar tidak tahu menjadi berapa bagian? Yang mana hasilnya menunjukkan aku dan Afif belum shaolat, kami lekas mencari masjid, sebab itulah kami bisa bersama sekarang.
Alhamdulillah, empat raka'at di penghujung siang hari sudah terlaksanakan. Aku memasang sepatuku di perbatasan area suci. Aku sudah bisa melihat Afif yang sedang memainkan ponselnya di gazebo. Sebelumnya, aku dan Afif sudah janjian untuk bertemu di gazebo tersebut.
"Lama ya?" tanyaku ketika sudah menghampiri Afif.
"Enggak kok." Afif tersenyum dengan sisa air wudhu di wajahnya.
Aku memalingkan pandanganku dari Afif, sebelum pertahananku hancur. Sungguh Maha dahsyatnya! Kekuatan air wudhu-Nya dapat mengguncangkan hatiku.
Aku menjadi salah tingkah tanpa sebab.
"Mereka nunggu di bawah," ucap Afif kemudian.
Aku mengangguk dan melangkah lebih dulu darinya, sedangkan Afif baru bangkit dari tempat duduknya. Kami berjalan dengan ditemani kesunyian. Meleburkan diri dalam kediaman masing-masing, bahkan tidak ada suara napas berderu-deru luput dalam pendengaran, karena sekarang posisinya menuruni jalan tanjakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Night Earth
General Fiction#1 in fiksiumum 27 Juli 2019 Cinta bertepuk sebelah tangan Narisa kepada Redo bak deburan ombak yang senantiasa tiap saat menampar pipi merahnya. Narisa dengan sabar menitipkan hatinya kepada Redo. Ketika dia tengah berharap pada nikmat yang dicipta...