13# Kepergiaan

416 23 5
                                    

Jangan engkau sesali atas apa yang terjadi di bumimu, NarisaBiarlah perasaan itu pergi jika dia menginginkannya.
***

Pada fajar yang bergelayu manja, aku berguru melupakan lagi. Sejak dua hari pertemuanku dan Redo kemarin, aku menutup semua harapanku. Alhamdulillah, sampai saat ini. Aku mulai terbebas. Kemarin, aku sempat terkecoh dengan raut wajah yang tidak biasa dari Redo, tetapi berkat Meisyah aku kembali lagi pada jalan yang lurus lagi. Coba kalian tebak kalimat apa yang Meisyah gunakan untuk menyadarkan aku dua hari yang lalu?

'Narisa, tidak ada yang berbeda dari faktanya Redo mengenal atau tidak mengenal wajahmu. Sejatinya, dia akan sama, tetap perbanyak kecintaanmu pada-Nya. Jika memang kalian di takdirkan, pasti akan bertemu dalam waktu yang tepat bersama dengan ikatan suci-Nya.'

Sebuah kalimat klasik tetapi dapat aku tangkap pengertiannya. Pasalnya, Redo tidak akan membuka hatinya sekarang padaku. Itulah! Tepat sekali. Sudahlah tidak usah dibahas, habis telah lembar kosong bumiku oleh namanya.

Aku tengah sibuk menunggu telepon dari Naufal di gazebo pinggiran koridor jurusanku. Naufal berjanji akan menghubungiku siang ini untuk berbicara mengenai keberangkatan kegiatan Kuliah Kerja Lapanganku yang sebentar lagi. Tiada luput pandanganku pada benda kecil yang aku pegang sekarang ini. Senyuman kecil menemaniku menunggu deringan ponselku. Aku sudah terlalu senang mungkin! Seakan kabar baik akan segera datang padaku. Bagaimana tidak? Naufal mengirim pesan sebelumnya bahwa dia ingin menyampaikan amanah dari Ayah dan Ibu. Oh, betapa bahagianya aku.

Drrrrrrrtttttttt.....

Getaran panjang dari ponselku, langsung aku sambar dengan cepat.

"Assalamu'alaikum wr wb," seruku secepat kilat.

[Wuisss santai dong kak. Walaikumsalam wr wb.] Naufal kembali menggodaku.

"Maaf, maaf, kakak mendadak bahagia kayaknya." Aku terkekeh disini.

[Kak Isa ada-ada aja deh.]

"Jadi apa amanah Ayah dan Ibu?" Aku langsung bertanya tidak sabaran, seakan detik selanjutnya tidak mempunyai kesempatan lagi mendengar suara Naufal.

[Tanya dulu napa kabar Naufal.] Ah anak ini sengaja memperlamanya!

"Naufal," tegurku dengan sekali deheman.

Tentu saja Naufal paham, sebentar lagi aku akan meledak.

[Iyaiya, nyebelin juga ya punya kakak kayak gini.]

"Gini juga masih kakak kamu, Fal." Cibirku sengaja.

Naufal tertawa puas dari seberang sana.

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang