Ketika hati yang sudah melayu
Namun berharap dapat bermekaran lagi
Maka biarkanlah waktu menentukan
***Rupanya aku tetap terusik dengan peristiwa satu minggu yang lalu, tanpa disangka aku dan Redo berada di satu atap rumah yang sama. Aah! Membayangkannya saja membuatku merana. Aku memijit pelipisku yang sudah membendung beban bumiku. Sesekali aku menarik napas gersang padahal cuaca sedang mendung.
"Apa kabar hati yang layu kemaren? Setelah dikasih pupuk lagi," sindir Aisyah terang-terangan.
"Ketika hati yang sudah melayu namun berharap mekar lagi, maka biarkan waktu yang menentukan." Aku menjawab dengan lelah.
"Sa, what did you think about at all after u saw how Redo's expression yesterday?" tanya Aisyah yang sok keinggrisan.
"He was just so-so. Seperti gak ada something happened"
"And you?"
"I am too."
"Are you sure?" selidik Aisyah. Yah, percakapan keinggrisan kami mengaluri waktu yang berjalan.
"Of course! I am just shocked when I saw him at my home. That's enough!"
"I see! How about your heart?" tanya Aisyah dengan nada yang sedang mengintrogasiku.
Meski kenyataannya hatiku sempat berguncang tetapi hal itu tidak lama.
"There wasn't something happened in my heart."
Aisyah menekankan nada bicaranya, "Sist, I hold your statement now!"
"U can do it!"
Aku harap, aku juga dapat memegang ucapanku selamanya.
***
Ketahuilah keduanya bersapaan dalam ketiadaan.Sesekali aku membuka selimut kemudian menutup wajahku lagi dengan selimutku maksud hati berteriak tidak rela untuk meninggalkan pulau kapuk ini, tetapi dorongan kegiatan yang padat menuntaskan kemalasanku. Aku berangkat dari tempat teraman di kosan-kasur-. Tiba-tiba benda kecil di atas nakasku berdering dengan kencang.
"Assalamu'alaikum Ibu," sapaku dengan mata yang masih sayup-sayup.
[Wa'alaikumsalam, Narisa dimana?] kata si penelpon.
"Baru aja mau bangkit dari kasur," jawabku semeringai.
[Waduh ndook, anak gadis kok baru bangun sekarang,] komentar Ibu.
"Tadi selesai subuhan Isa ketiduran," jelasku agar wanita cantik disana tidak mengomeliku lebih lanjut, tetapi itu faktanya kok.
[Sa, gimana kuliahnya lancar?]
Aku semakin bahagia sekarang karena Ibu kerap kali menanyakan keadaanku di tanah rantauan.
"Serumit apapun kuliah Isa kalo selalu dapet perhatian Ibu gini jadi lancar luncur semua," candaku dengan mata yang menampakkan binar kebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Night Earth
Beletrie#1 in fiksiumum 27 Juli 2019 Cinta bertepuk sebelah tangan Narisa kepada Redo bak deburan ombak yang senantiasa tiap saat menampar pipi merahnya. Narisa dengan sabar menitipkan hatinya kepada Redo. Ketika dia tengah berharap pada nikmat yang dicipta...