Memangnya bumiku sanggup?
Bumiku jauh berbeda dengan yang engkau punya, Ya Allah. Tidak sekuat dan seramai bumi kau. Bumiku rapuh dan kecil, hanya aku penghuninya. Jika aku sudah bersedih, aku tidak tahu lagi harus berlari ke arah mana, sedangkan bumiku tidak punya penghuni lain. Sebab itulah aku selalu mengadu pada-Mu dengan segenap harapan penuh.
Sejak makan malam terakhir yang mengguncang jiwaku tadi, aku semakin mati langkah. Kepada siapa aku dapat bertutur? Jika tak seorangpun bersedia mendengarkanku. Aku segera pamit pada Ayah dan Ibu ke stasiun kereta malam itu. Ayah tidak mengantarku ke stasiun, tetapi setidaknya beliau masih mengizinkan aku mencium tangannya. Di perjalanan ke stasiun Naufal selalu menyemangatiku dan bilang bahwa Ayah sedang kacau karena tidak bisa memberikan kebahagian padaku, sehingga dia menyuruhku untuk tetap bersabar dan menunggu Ayah meredahkan kekecewaannya.
Entah sejak kapan juga aku mulai lelah menghadapi sikap Ayah dan Ibu seperti ini, meskipun aku tahu sudah menjadi keharusanku untuk bertabah. Batinku tertekan, jiwaku menghambur kesedihan. Hal ini memancing hatiku menangis sendu kembali akan peristiwa penolakan Redo. Semakin mengikis kalbu. Aku menyeka air mata yang sudah tertahan dari tadi, dan berhasil lolos dari pelupuk mataku sekarang. Aku berusaha terlihat kuat sejak di rumah tadi, sehingga satu tetespun tidak luput di pinggiran mata sayupku. Alhasil, semua tangisanku meluncur begitu deras di belakang Naufal.
Aku terus menutup bibirku agar tidak mengeluarkan suara tangisan. Saat itu dadaku masih terasa sesak. Pikiranku sudah meliar-liar di kerimbunan emosi. Mataku menatap nanar pada masa depanku nanti. Begitu banyak yang menguji hati kecil hamba belakangan ini. Berkali-kali aku menghembuskan napas frustasi, yang aku yakini Naufal pasti mendengar itu. Laju cepat motor yang dikendarain Naufal, tidak mengusik lamunan panjangku di kursi belakang. Inilah malam yang penuh kisah sedih.
***
Keesokan harinya setelah perdebatan di waktu makan malam terakhir. Seperti biasa aku masuk kuliah lagi. Tidak ada yang berubah. Aku memasuki semua alat tulisku di atas meja dengan cepat. Teringat, sesudah jam kuliah terakhir aku harus mengambil motor Aisyah yang akan dia titipkan di kosanku. Beginilah rutinitasi aku dan Aisyah sehingga kami selalu bertemu tiap hari.
"Aisyah," panggilku sembari berlari kecil menuju Aisyah, yang sedang menungguku di gazebo parkiran motor.
"Sorry lama banget tadi dosennya kebablasan ngajar," lanjutku asal ketika sudah di hadapan Aisyah.
Aisyah terkekeh. "Yeee dikira mobil si dosen pake ngebablas." Tegur Aisyah.
Akupun tertawa pelan. Hanya pada Aisyah aku bisa berlaku normal.
"Ciie ciiie udah bisa ketawa ni?" goda Aisyah padaku, lalu aku balas dengan senyuman kecil.
Sejak hari pengakuan tidak beradat itu, aku menjadi murung setiap hari. Mungkin karena aku belum siap menerima bahwa itulah kenyataan yang terlihat di mataku. Namun sejak pulang dari kampung aku memutuskan untuk menjadi Narisa yang dulu. Tegar, mandiri, kuat, dan masa bodoh dengan bumi orang lain. Yah, seperti inilah Narisa harus hidup! Walaupun aku belum pasti sepenuhnya akan bisa menormalkan hidupku kembali.
"Sa gimana Ayah kamu?" Aisyah bertanya dengan hati-hati.
Aisyah memang mengetahui semua persoalan di kehidupanku, termasuk juga dengan sikap kedua orang tua aku selama ini.
Aku termenung sejenak lalu memaksa tersenyum. "Gak ada yang beda, sama seperti biasanya," jawabku miris.
Aisyah menepuk pelan bahuku.
Aku mengangguk mengerti.
Aisyah pasti ingin aku bertabah juga, sama seperti Naufal bilang malam itu. Tapi hatiku terlalu sakit dan lelah untuk melakukannya sekarang. Namun apalah arti dari segalanya jika yang patut aku lakukan sekarang, hanya bertabah. Aku akan mengambil tawaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Night Earth
General Fiction#1 in fiksiumum 27 Juli 2019 Cinta bertepuk sebelah tangan Narisa kepada Redo bak deburan ombak yang senantiasa tiap saat menampar pipi merahnya. Narisa dengan sabar menitipkan hatinya kepada Redo. Ketika dia tengah berharap pada nikmat yang dicipta...