part 1

14.6K 544 7
                                    

dear all readers,

aku akan repost forgiveness dengan beberapa perubahan, tenang aja karena bukan alur yang kuubah, hanya beberapa bagian aja yang kuanggap perlu untuk di ubah. dan bagia yang belum membaca cerita ini happy reading guys. aku harap kalian suka dengan cerita ini.

***

Part 1

Seirena

Kubaca sekali lagi surat wasiat yang ditinggalkan mama sebelum beliau meninggal, hanya untuk memastikan bahwa aku tidak salah baca atau mungkin ada kata penting yang terlewat, tapi setelah kubaca dua kali, bahkan tiga kali, semua tetap sama, sangat jelas dan tidak ada yang salah sedikitpun.

Kuletakkan surat itu di atas meja dan kembali kutatap seorang wanita berambut lurus yang berprofesi sebagai pengacara keluargaku.

"Saya nggak nggak ngerti, bisa tolong anda jelaskan kenapa ada hal semacam ini?"

"Mendiang Ibu Renita tidak menjelaskannya, beliau hanya meminta saya untuk membuatnya," jelas pengacara berambut lurus itu yang tidak membuahkan titik terang sama sekali.

Surat wasiat itu jelas sangat tidak masuk akal, mama memang mewariskan sebagian besar assetnya padaku, termasuk toko kue Chocolove yang telah dirintis dari nol oleh mendiang mama, itu adalah poin yang paling berharga, namun yang membuat aku bingung, kenapa rumah yang kutempati sepanjang usiaku bersama mama harus dijual? Dan yang membuatku lebih tercengang lagi adalah syarat mengenai kepemilikan Chocolove, di dalam surat wasiat itu tertera dengan jelas bahwa aku harus menempati rumah yang tidak aku ragukan lagi adalah rumah yang berdiri tepat di depan rumah si mantan suami mama yang kaya raya itu—papa. Jika aku tidak menyanggupinya maka seluruh aset termasuk Chocolove akan jatuh ke tangan si mantan suami.

Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, jika Chocolove sampai jatuh ketangan pria munafik itu, entah apa yang akan terjadi, seharusnya mama bisa memprediksikan hal itu, tapi kenapa...

Aarrrgghhhh

Pasti ada alasannya, dan mama menyembunyikan sesuatu dariku.

"Permisi non Seirena." suara beraksen jawa kental yang kutahu hanya milik Ibu Siti—dirumah ini—membuyarkan pikiranku sejenak, dengan sangat cekatan bu Siti meletakkan dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap panas.

"Terimakasih." Suara pengacara itu terdengar setelah bu Siti menawarinya untuk meminum teh, tak lupa untuk mencicipi cemilan yang tersaji di meja juga.

Kembali kutatap wajah datar pengacara berambut panjang di hadapanku yang mulai menyesap teh, "Baiklah, aku terima persyaratan itu," ucapku akhirnya.

"Tidakkah anda berkeinginan untuk menolak?" pertanyaannya terdengar sangat lucu.

"Memangnya aku punya pilihan?"

Dia hanya mengendikkan bahu acuh, "Demi harga diri misalnya?"

Tatapan mata itu seperti tengah mengejek, kuasumsikan jika dia tahu persis apa yang terjadi dengan keluargaku, aku sangat yakin mama telah menceritakan masalah keluarga kami dan tentang diriku juga pada perempuan berambut lurus ini.

"Hanya ini yang menghubungkan saya dengan mama, saya tidak merasa membuang harga diri untuk melindungi apa yang berharga."

Kulihat wanita berambut lurus itu hanya tertawa kecil dan mulai sibuk menyusun dokumen yang harus kutandatangani, "Sepertinya anda bukan kandidat yang baik untuk dijadikan teman."

"Penawaran yang cukup menarik, akan saya pertimbangkan nanti," balasku kurang minat sambil menandatangani berkas-berkas warisan itu.

"Sekedar nasihat, jika anda tidak tahan, maka silahkan mengambil opsi terakhir segera, oh ya, ingat setiap seminggu sekali saya akan mengecek, dan nasib anda ada di tangan si mantan suami Ibu Renita."

Opsi terakhir? Ah, aku hampir lupa mengenai opsi terakhir itu, sebuah pernikahan, sebuah pernikahan akan menyelamatkanku dari syarat gila itu, tapi menikah disaat aku tak tahu siapa yang akan kunikahi tentu bukan opsi bagus untuk dilakukan sekarang, aku tentu tak mungkin mencari pria secara acak di luar sana, aku tak mungkin seceroboh itu untuk menikahi seorang pria.

Setelah pengacara berambut panjang itu pergi, aku segera mengambil ponsel dan menghubungi kakek, satu-satunya orang yang bisa menjelaskan padaku maksud dari surat wasiat itu.

"Halo kek," sapaku begitu kakek mengangkat telfon.

"Ada apa Seirena?" tanya suara berat di seberang sana.

"Ini tentang surat wasiat, aku rasa kakek perlu ngejelasin sama aku."

Kudengar kakek menghela nafas berat, "Kakek tidak tahu Seirena, tapi mungkin mamamu ingin mendekatkan kalian."

Mendekatkan kami? Aku dan laki-laki brengsek itu?

Tidak akan pernah terjadi, walaupun aku telah menyetujui persyaratan itu, aku tetap tidak akan dekat-dekat lagi dengan mereka, bagiku mereka adalah orang-orang yang perlu dijauhi, karena keberadaan mereka dapat membawa dampak negatif bagi kehidupanku.

"Aku rasa, permintaan mama terlalu kelewatan."

***

Dua belas tahun yang lalu aku masih menjadi Seirena yang bahagia, si gadis yang tergila-gila dengan coklat, sangat mencintai aroma kue yang baru saja keluar dari panggangan dan tentunya sangat menyayangi keluarganya.

Tak pernah seharipun terlewatkan olehku untuk mengunjungi Chocolove, tempat dimana mama mencurahkan segala cintanya pada kue-kue cantik yang terpajang di etalase, berderet dengan warna-warna lucu serta aroma yang menggugah selera.

Menurutku, kebahagiaanku ketika itu layaknya kue, begitu cantik, begitu manis. Memiliki seorang ayah yang bisa dibanggankan, seorang ayah yang akan melindungiku dan mama, serta seorang ayah yang hangat dan tentu saja seorang mama yang begitu mengagumkan dengan tangannya yang sangat terampil membuat kue yang kusuka.

Namun aku tak pernah tahu akan kenyataan hidup, di mana hal yang manis selalu disandingkan dengan hal pahit, bahwa tak semua jalan yang kita lalui itu lurus tanpa terjal, ketika kebahagiaan yang selama ini menyelimutiku harus berganti dengan kesedihan aku tak cukup siap untuk menerimanya.

Ketika setiap malam yang kutemukan adalah tangisan mama di dalam kamar, aku tidak bisa memahami, masih belum bisa hingga akhirnya papa pergi dari rumah, meninggalkan aku dan mama demi mengejar kebahagiaannya sendiri. Yang paling menyesakkan adalah ketika aku dapat menyadari bahwa kebahagiaan papa bukanlah aku dan mama, melainkan perempuan lain yang telah mengisi hari-harinya dan yang lebih memuakkan dari sosok yang pernah kukagumi itu adalah, seorang anak dari wanita selingkuhannya.

Hari ketika papa pergi adalah hari di mana aku menyaksikan mama yang memohon agar papa tetap tinggal, memohon layaknya seseorang yang akan mati hari itu.

"Maaf Renita, aku tidak bisa." Papa berkata untuk kesekian kalinya.

"Kalau kamu pergi, bagaimana dengan Seirena, dia membutuhkan figur seorang ayah."

"Aku janji akan tetap menjadi ayah untuknya, tapi untuk melanjutkan pernikahan ini aku tidak bisa, sejak aku tau kalau aku punya anak bersama Saraswati dan pernikahan tanpa cinta yang kita jalani selama ini harus berakhir."

Kurasakan dadaku tertohok kala papa mengatakan kalimat itu, Pernikahan tanpa cinta? Kembali kulihat mama yang saat itu tengah bersimpuh di anak tangga menangis dengan bahu bergetar hebat, membuat dadaku serasa diremas, sakit.

"Maaf Renita, tapi jalan terbaik untuk kita adalah bercerai, dan aku berjanji akan tetap memperhatikan Seirena."

Saat papa telah pergi dari kehidupanku dan mama, aku berjanji bahwa tidak akan pernah lagi ada papa di hidupku, dan aku akan membencinya, selalu membencinya.

***

Mataku terpejam untuk sesaat, berusaha meredam ingatan itu lagi dan lagi. Kupandang sekali lagi, figura mama yang memperlihatkan banya kebahagiaan di wajahnya, kebahagiaan yang sayangnya hanyalah semu belaka, pada dasarnya keluargaku ini tidak pernah bahagia, tidak pernah ada senyuman ataupun tawa yang nyata, semuanya hanyalah kamuflase, tidak pernah ada cinta.

Dan aku benci mengetahui itu.

***

salam,

S_A

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang