aku balik lagi, semoga part ini bisa memuaskan....
selamat membaca
***
Haikal
Langit masih gelap, tapi aktivitas di bawah sana sudah terlihat ramai sejak setengah jam yang lalu, kutahan rasa nyeri yang menyerang telapak kakiku saat aku mulai berdiri dari kursi di balkon apartemen.
Dengan sedikit tertatih aku berjalan menuju ranjang kemudian duduk di pinggiran, mencoba menahan sakit yang berdenyut-denyut di telapak kakiku yang terbalut perban putih.
Dia sudah pergi sejak beberapa jam yang lalu, dan mangkuk yang berisi bubur kacang hijau itu pun sudah kosong, walaupun aku mengusirnya, tapi pada akhirnya apapun yang ia tinggalkan tetap kuterima dan kusimpan dengan baik.
"Udah baikan bang?" sebuah pertanyaan membuatku tersadar dari lamunanku.
Ricky berdiri di ambang pintu dengan tangan kanan menopang tubuhnya. Aku baru sadar dia berada di kamar sebelah setelah Seirena meninggalkan apartemen ini, ternyata wanita itu datang bukan karena diriku, tapi karena mengantar Ricky yang babak belur. Bodoh, memangnya apa yang kuharapkan?
"Lumayan, nggak terlalu pusing lagi,"
Ricky mengangguk samar, dengan tertatih dia berjalan dan duduk di sampingku, memandang langit yang mulai cerah dari kaca besar di hadapan kami.
"Ini seperti mimpi, kan?"
Aku menatap tak mengerti ke arahnya, dia tertawa kecil, kemudian dengan mata menerawang dia mulai bercerita, "Waktu itu aku masih lima tahun, mama ngajak aku ke rumah yang penuh dengan bunga mawar, aku masih ingat dengan jelas, saat itu aku lagi ngamati satu bunga mawar paling indah dan paling besar, seorang kakak perempuan menghampiri aku dengan senyum yang nggak kalah indah dari bunga mawar itu, aku menyukainya, termasuk kue coklat yang dia kasih,"
"Tapi sayangnya, di hari pertama aku melihat senyumnya hari itu juga dia kehilangan senyum indahnya, dan itu semua karena kita, karena kita yang tidak pernah bisa mengatakan kejujuran dari awal dia kehilangan kebahagiaan,"
"Dia yang memilih Ricky, kita semua sudah menawarkan perdamaian dan kebahagiaan untuknya, tapi dia yang memilih untuk membuang apa yang telah kita tawarkan,"
Ricky menggeleng, "Kak Sei hanya manusia biasa, bagaimana caranya dia mampu menerima kebaikan yang telah kita berikan setelah kita melukainya dengan sangat dalam? Seandainya dia menerima pun dia tetap akan tersakiti, karena itu, jangan membencinya, sejahat apapun dia menjebak bang Haikal, jangan pernah membenci dia,"
Kali ini aku yang mengangguk pelan, setuju dengan apa yang baru saja dikatakan Ricky, tapi jika terus seperti itu, kapan Seirena akan kembali hidup berbahagia? Kapan dia akan menghilangkan beban besar yang menghimpit pintu hatinya?
Aku tidak mendapatkan jawabannya.
***
"Kok bisa sih kamu nginjek pecahan gelas kayak gini,"
Aku tertawa kecil mendengar suara omelan Diah yang kini tengah mengganti perban di kakiku, menghabiskan beberapa bulan bersamanya membuatku tahu, bahwa gadis manis ini ternyata cerewet.
"Kok malah ketawa sih?"
"Habisnya kamu, aku cuma luka kecil aja kamu ributnya kayak gini,"
"Luka kecil kamu bilang?" tanyanya tak percaya tapi tangannya tetap cekatan melilitkan perban, "Luka kecil yang sukses buat kamu nggak bisa jalan,"
"Aku masih bisa jalan kok, yang sebelah kiri nggak terlalu parah, jadi aku masih bisa bertumpu sama kaki kiriku," protesku lagi.
Dia menghela napas kesal, lalu berdiri dan pergi menuju dapur, aku tahu dia marah, jelas saja, dua minggu lagi kami menikah tapi yang kulakukan malah melukai diriku sendiri, mungkin dia cemas di hari besar nanti aku malah tidak bisa melakukan dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgiveness
Любовные романыMasa lalu Sakit hati Dendam tiga serangkai yang selalu menghantui di sepanjang hidupku, tapi anehnya aku tidak pernah berpikir untuk melepaskan mimpi buruk itu. Tidak rela Walaupun berjuta umat menyerukan agar aku melupakannya, aku tetap tidak mau...