Part 36

8.3K 274 16
                                    

selamat membaca

***

Dua minggu kemudian

"Demi apa..." Niko bersedekap di ambang pintu sambil menggeleng tak percaya, aku mengangkat bahu tak perduli dan melanjutkan pekerjaanku yang menumpuk.

"Dapet dari tukang loak mana lo, kertas sebanyak ini?" tanyanya masih takjub dengan kertas dan dokumen yang berserakan di atas mejaku.

Aku mendiamkannya, berusaha tidak peduli, sudah dua minggu satu per satu sahabatku datang ke kantor dan yang mereka lakukan tak jauh-jauh dari mengganggu waktu kerjaku, mengatakan ini itu yang awalnya membuat kupingku panas, tapi lama kelamaan aku jadi nggak peduli. Niko duduk, dan dengan tanpa sopan satun melempar sesuatu bewarna coklat kemejaku.

Aku memandangnya bengis, tapi sejurus kemudian mendengus. Tidak ada gunanya marah-marah pada Niko, yang ada aku malah tambah sakit kepala.

Aku memandangi apa yang dilempar Niko barusan, sebuah undangan, dengan malas-malasan aku membukanya, dan tak usah ditebak lagi, nama Niko dan calon istrinya tertera di sana.

"Cuma sekedar ngingetin lo aja, takutnya lo lupa," ujarnya kalem.

"Gimana caranya gue lupa, kalau yang lo bahas setiap ngunjungin gue adalah pernikahan lo," balasku sambil kembali meraih bolpoint dan kembali melihat berkas, duh sampai mana aku tadi.

Niko mengambil tumpukan kertas di tanganku dan melemparnya ke seberang meja, "Bisa nggak sih lo itu istirahat sebentar, gue lagi bertamu ini."

Aku berdecak kesal, dari semua orang, bisa dikatakan Niko adalah yang paling menyebalkan. Aku meletakkan bolpointku kembali dan memadang tajam Niko, "Oke, sekarang apa mau lo?"

"Gue denger Seirena udah keluar dari rumah sakit, lo nggak ada jenguk dia?"

Aku sudah tahu hal itu dari Ricky, bahkan mungkin sebelum Niko tahu, aku sudah tahu lebih dulu, aku berdecak lagi, karena mungkin aku akan medengar informasi-informasi yang sama dari mulutnya.

"Cuma itu yang mau lo omongin?"

"Kal..."

"Please Nik, gue udah bosen, dan gue nggak mau denger lagi," potongku cepat sebelum ia melanjutkan ucapannya.

Setelah kejadian mengharu biru di taman rumah sakit, aku memang tidak pernah bertemu lagi dengan Seirena, lebih tepatnya menghindar, dan lebih memilih menyibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan di kantor. Aku menjauh darinya bukan karena belum memaafkannya, bukan itu, aku memaafkannya, sudah pernah kukatakan bukan, kalau aku akan selalu memaafkannya setiak kali dia berbuat salah, dan akan kembali mengejarnya, tapi semakin lama kupikirkan aku semakin ragu dengan ucapanku itu, aku memang memaafkannya, dan dia juga telah memaafkanku, tapi untuk mengjernya lagi, aku tidak bisa.

Setelah kejadian itu aku kembali berpikir, mungkin kami memang tidak bisa bersama, seperti apapun keadaannya kami akan tetap tersakiti satu sama lain, dia yang menyakitiku dan aku yang menyakitinya, tidak ada kesamaan jalan di antara kami, walaupun kami saling mencintai.

Semuanya terlalu rumit, dan aku tidak ingin mengulang kerumitan itu lagi.

"Lo ngerasa nggak sih kalau lo itu nyerah di saat lo udah terlalu jauh berjalan, lo udah terlanjur kecemplung, kenapa nggak sekalian basahan aja,"

"Ini nggak sedangkal yang lo bilang Nik," bantahku pelan.

"Gue tau, sebagai sahabat lo aja, ngeliat lo dijebak, dibohongi, terus masalah keguguran anak lo yang tiba-tiba aja nongol di rahim Seirena, sampek yang katanya lo ngomong kasar ke dia aja udah bikin kepala gue mumet sendiri, apalagi lo yang ngejalaninnya, tapi Kal, satu hal yang harus lo tau, saat lo udah memilih untuk jatuh cinta maka lo harus siap dengan konsekuensinya, yaitu sakit hati, dan saat lo sakit, lo cuma punya dua pilihan, yang pertama pergi dan cari yang lain, atau tetap memilih cinta lo dan perjuangin dia sampai akhir, dan kalau gue liat, persentasi lo buat menangin hati Seirena nyaris sempurna, nunggu apa lagi coba, lo cinta dia, dia cinta lo, semuanya udah rumit, kenapa nggak lo buat simple aja."

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang