Part 34

3.5K 238 17
                                    

sudah lama ya....

***

Haikal

Ardi berdiri di depan pintu ruang rawat Seirena, tangannya mengepal dan wajahnya memerah padam, satu hal yang kusadari dan tak perlu kupertanyakan lagi, dia mendengar obrolanku dengan Seirena, aku sempat mencurigainya sebagai ayah dari bayi itu, pasalnya hubungan mereka sangat dekat, sangat sulit membedakan mereka itu pacaran atau hanya sekedar sahabat, tapi aku sendiri tidak begitu yakin, apalagi melihatnya penuh amarah seperti saat ini, dan satu desisan tajamnya sebelum dia berbalik dan meninggalkan lorong sepi koridor rumah sakit.

"Romi brengsek."

Siapa lagi, kalau bukan dengan sahabat, kemungkinan besar dengan mantan pacar. Ternyata memang benar apa yang dikatakannya, semua yang terjadi di antara aku dan Seirena, hanya sandiwara belaka, dan rasa cinta yang sempat kutemukan di matanya mungkin hanya ilusiku semata.

Seirena masih menangis hebat di dalam sana, dia tidak mengatakan apapun, melihat ekspresi wajahnya saat aku mengatakan jika dia hamil, sepertinya dia tidak tahu jika dia sedang mengandung saat itu.

Aku kembali menertawakan diriku, mulutku ini telah berhasil menyakitinya, entah mengapa aku ingin melakukannya, aku merasa sakit hati, sangat.

***

"Besok kita menikah, tapi wajah kamu kayak lagi berduka."

Aku tersenyum kecil mendapati Diah duduk manis di sofa ruang keluarga rumahku, aku berjalan dan duduk di sebelahnya.

"Tumben kamu ke sini? Besok kita nikah loh, kalau kamu lupa," candaku sembari melonggarkan lilitan dasi yang terasa mencekik leher.

"Ya nggak lah, aku ke sini karena khawatir, tante bilang kamu masih kerja ke kantor di H-1 pernikahan kita."

Aku tersenyum menatapnya, "Ada kerjaan yang harus aku selesaikan dulu, setelah itu, aku free selama seminggu penuh," ujarku lembut, "Oh iya, mama mana?"

"Pergi, tadi katanya mau ke tempat tante Saras, dan belum pulang sampai sekarang," jawabnya, aku mengangguk pelan.

Melihat di meja belum tersedia minum, pasti wanita ini belum disuguhi apapun, "Kamu mau minum apa?" tawarku sambil beranjak menuju dapur.

Dia tak menjawab, malah mengikutiku ke dapur, "Haikal," panggilnya pelan.

"Ya?" jawabku tanpa menoleh. Mengambil sebotol jus jeruk dan menunagnya ke dalam gelas.

"Jangan memaksakan diri." Gerakanku terhenti, kutaruh botol berisi jus jeruk di atas meja dan berbalik memandangnya, tak perlu berpikir keras untuk mengerti maksud dari ucapannya, "Kita sepakat untuk nggak ngomongin hal ini lagi."

"Kita nggak pernah buat kesepakatan itu."

Aku menghela napas, dasar wanita, biarpun kami memang tidak pernah berbicara tentang kesepakatan, seharusnya dia bisa melihat dari prilakuku selama ini.

"Diah dengar," ujarku sambil memegang bahunya, "Aku nggak merasa terpaksa, dan aku ikhlas melakukan semua ini, kita pasti akan menikah."

Kepalanya menggelang pelan, "Mulut kamu yang setuju, tapi hati kamu...nggak Haikal, kamu nggak pernah rela menikah denganku."

"Aku. Rela," ulangku penuh penekanan, saat kuliaht dia hendak menyanggah, langsung kutarik dia ke dalam pelukanku.

"Aku masih sangsi jika kamu mau menikah denganku setelah tau kebenanran ini."

Masih memeluknya, aku memejamkan mata kuat, kebenaran apa lagi sih? Tidak cukupkah kebenaran-kebenaran yang terungkap beberapa hari ini membuat kepalaku pusing tujuh keliling?

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang