Part 13

3.7K 252 2
                                    

buka wattpad dan lembar kerjanya udah beda aja, antara yang diketik langsung sama yang kucopypaste dari word ukuran tulisannya beda, nggak tau deh jadinya gimana

selamat baca

***

Seirena

Kuseruput teh hangat yang baru saja disuguhkan Ardi di atas meja makan kediaman keluarganya, rumah besar bak istana ini tampak begitu sepi dan lenggang, Ardi bilang keluarganya tengah liburan di rumah kerabatnya di Yogyakarta, jadi dia sendirian, dan alasannya mengundangku ke rumahnya adalah untuk menemani kesendiriannya, memangnya apalagi?

"Kenapa sih lo nggak ikut sama orang tua lo liburan?" tanyaku setelah meletakkan cangkir kramik mahal kembai ke tatakan.

Ardi mendengus, "Emangnya lo bakalan ngijinin gue libur?"

"Kalo niat lo cuma buat liburan seneng-seneng, mimpi aja sana," jawabku langsung.

"Dasar sadis," umpatnya kesal, "Tapi sebenernya gue ngajakin lo ke sini karena gue mau curhat," lanjutnya.

Aku menatapnya heran, sejak kapan Ardi jadi tukang curhat? Oh, bukan, maksudku sejak kapan Ardi punya masalah yang patut unduk dicurhatkan? Bukankan selama ini hidupnya adem ayem, pacar nggak punya, jadi mana mungkin kalau dia patah hati, keluarga juga damai, nggak ada instrumen pengganggu terdengar.

"Curhat tentang apa?" tanyaku akhirnya.

Dia menyandarkan punggungnya di kursi, menghela nafas untuk kedua kalinya, "Nyokap udah ngasih ultimatum untuk ngurus salah satu anak perusahaan keluarga di luar kota, dan gue bingung soal itu," ungkapnya lesu.

Aku membatu mendengarnya, jika Ardi kembali ke perusahaan keluarganya, maka dia akan meninggalkan dapur Chocolove, dan itu artinya aku akan terpisah dari sahabat baikku, apa yang harus aku lakukan? Melarangnya bukanlah tindakan yang tepat, Ardi punya keluarga yang wajib untuk dia lindungi, dia juga punya orang tua yang menaruh harapan besar pada anak bungsu mereka, tidak mungkin orang tua Ardi membiarkan anaknya yang punya potensi untuk sukses terus berdiri di dapur chocolove, tapi untuk kehilangan Ardi di dekatku, aku merasa tidak rela, keberadannya sangat penting, setidaknya dia adalah salah satu orang yang bisa mengalihkan pikiranku dari masalah.

Egois, aku benar-benar egois jika terus menahan Ardi di sisiku, dia punya kehidupan lain, dan aku seharusnya tidak mengusik hanya untuk kesenanganku semata, baiklah, jika selama ini Ardi telah melakukan apapun untukku, maka sekarang aku akan melakukan hal yang sama.

"Keluarga lo jauh lebih penting daripada Chocolove Ardi, gue bisa kok hendel sendiri, memang sudah seharusnya kan lo lebih perhatian sama keluarga lo,"

Dia menggeleng kecil, "Gue nggak bisa ninggalin lo sendirian, gue udah ambil keputusan ini sejak gue nyusulin lo buat kuliah di Sidney,"

"Tapi lo udah lulus kuliah S1 ekonomi, itu artinya sebelum lo mutusin untuk ngikutin gue, lo udah punya rencana buat nerusin bisnis keluarga," aku kembali menjawab, dia berdecak kesal.

"Gue nggak bisa Sei, masih banyak kok saudara gue yang lain yang bisa hendel, lagian gue juga nggak biasa ngurusin bisnis, gue udah terlalu biasa sama dapur dan tepung, jadi tolong jangan paksa gue,"

Aku berdecak kesal, memberi tahu manusia bebal seperti Ardi memang butuh kesabaran ekstra, "Bener alasannya hanya karena lo terbiasa dengan dapur dan tepung? Bukan karena gue?" tebakku, Ardi tak menjawab dan aku sudah menebak bahwa jawabannya 'iya', "Gue seneng kalau alasan lo itu gue, lo itu udah gue anggap sebagai saudara gue sendiri, sebagai kakak yang selalu ada buat gue, sebenernya gue juga nggak mau lo pindah ke luar kota, tapi gue juga nggak bisa memaksa kehendak gue, karena gue tau perasaan orang tua lo, mereka pasti pengin liat anaknya sukses, bukan mengahabiskan waktu jadi asisten gue seumur hidupnya, lo pasti tahu kan kalau gue nggak akan naikin jabatan lo apalagi gaji selama lo kerja di Chocolove,"

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang