Part 24

2.9K 228 2
                                    

aku sebenernya kurang greget sama part ini, tapi semakin dilhat-lihat lagi aku semakin bingung mau diubah bagian mananya...

but i hope you enjoy

salamat baca

***

Haikal

Berubahnya pikiran Seirena membuatku kembali menghela napas, sebenarnya aku sudah tahu sejak aku melihatnya tengah memandangi foto mamanya tadi, tercetak jelas di wajahnya kesedihan yang masih belum bisa ia buang dari hidupnya.

Padahal saat kami berdua bermain di tengah hujan tadi, aku yakin bahwa dia sudah mulai membuka hatinya untuk menerima, bahkan rasanya aku ingin melompat kegirangan saat dia dengan sangat jelas membalas kalimat cinta yang kuucapkan, tak ada yang lebih menyenangkan saat melihatnya tertawa lepas penuh kebebasan, tapi kenapa dia harus terjerumus lagi dalam kubangan masa lalu yang sulit untuk dia lupakan.

"Mau sampai kapan kamu berdiri sambil melamun di situ? Ini tehnya udah jadi," ujarnya sembari meletakkan dua gelas cangkir yang masih mengeluarkan kepulan asap di atas meja makan.

Aku pun duduk di hadapannya dan menyeruput teh hangat yang dibuatkannya perlahan.

"Makasih," ucapku tulus, rasah hangat yang mengalir di tenggorokanku memberikan sedikit rasa tenang, "Asisten rumah tangga kamu kemana?" tanyaku mencoba mengalihkan suasana yang sempat menegang beberapa saat lalu.

"Pulang kampung, dua hari lagi baru balik ke sini," jawabnya.

Aku mengangguk perlahan, "Sejak kapan? Berarti kamu selama ini sendirian?"

Seirena tersenyum mendengar pertanyaanku, "Sejak kita baikan, dan ya aku sendirian, cuma aku manggil pekerja lepas untuk bersihin rumah tiga kali seminggu," jalasnya.

Aku lagi-lagi mengangguk, lalu tiba-tiba pertanyan itu muncul, pertanyaan yang belum sempat kutanyakan pada Om Aris, tentang mengapa Seirena harus tinggal secara berdekatan dengan Om Aris.

"Boleh aku tanya sesuatu?"

Seirena mengangguk sebagai bentuk bahwa ia mengizinkanku untuk bertanya.

"Boleh aku tau kenapa kamu harus tinggal di rumah ini?"

Dia tak langsung menjawab dan memilih menyeruput tehnya tenang, "Itu permintaan mama dalam surat wasiatnya, sampai aku menikah baru aku boleh pergi dari rumah ini,"

"Menikah?" ulangku pada satu kata paling penting dalam kalimatnya.

Dia mengangguk pelan, "Iya, menikah,"

"Lalu kenapa kita nggak menikah aja? Bukannya itu bisa membuat kamu jauh dari orang-orang yang menyakiti kamu?"

Seirena tertawa kecut mendengar ucapanku yang sejujurnya juga membuatku menertawakan diriku sendiri, bagaiana bisa aku menikahi dia di saat seperti ini, menikahinya sama saja memaksanya untuk masuk ke dalam lingkaran orang-orang yang tak pernah diinginkannya.

"Kalau kamu mau menikahiku, itu artinya kamu harus meninggalkan keluargamu, apa kamu bisa?"

***

Apa aku bisa?

Pertanyaan itu terus melayang-layang di kepalaku sepanjang waktu tanpa menemukan jawabannya, aku menghela napas untuk kesekian kalinya dan dari jendela kaca aku kembali menatap lurus rumah bertingkat dua tempat di mana Seirena merasa terpenjara.

Tepukan ringan di bahuku membuatku menoleh dan menemukan Om Aris tengah tersenyum, beliau berdiri di sampingku dan ikut memandang rumah di depan sana.

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang