selamat baca
***
Seirena
Hari ini cuacanya sedikit berangin, langit cerah yang tertutup mendung, tapi sedikit memancanrkan sinar matahari, membuat cuaca tidak terlalu panas. Tadinya seorang perawat membawaku ke taman rumah sakit, katanya udara segar sangat baik untuk suasana hatiku.
Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, mencoba membuktikan kata-kata perawat tadi, tapi setelah aku menghirup udara, saat tanganku menyentuh bagian perut, aku merasakan perasaan itu lagi, rasa sakit dan bersalah yang tak berkesudahan.
Kenyataan bahwa akulah penyebab kematian janinku, membuatku terpukul telak. Jika sudah begini, maka mama terlihat ratusan kali lebih baik daripada aku, karena mama dapat mempertahankan bayinya di saat dia sendiri menanggung beban berat, tapi aku? Bahkan keberadaannya saja aku tidak sadar, bagaimana bisa aku sebodoh itu, seharusnya aku sudah mengetahui melalui tanda-tanda yang terasa beberapa hari belakangan.
Aku menghela napas lelah, andai saja aku tahu, mungkin malam itu, aku tidak akan mengendarai mobil ugal-ugalan, atau seharusnya aku memang tidak melakukannya, pikiran untuk segera menyusul mama untuk mendengar penjelasan langsung darinya, benar-benar membuktikan betapa bodohnya aku. Sebuah tangan menyentuh lembut pundakku, aku menoleh dan mendapatinya berdiri di belakangku sebelum akhirnya bergabung bersamaku di kursi taman ini.
"Bagaimana kabarmu, Sei?"
Aku menunduk, tidak berani menatapnya saat ini, pasti bukan hanya rasa benci yang dirasakannya, tapi mungkin juga kecewa dan sakit hati, aku tidak hanya menjebaknya, tapi juga telah membunuh satu-satunya darah dagingnya di dunia ini.
"Sudah merasa lebih baik?" aku masih diam.
"Setelah apa yang kamu lakukan, apa kamu masih mendiamkanku?" aku semakin dalam menunduk. Semakin merasa bersalah untuknya.
"Sei..."
"Aku minta maaf," ucapku akhirnya, rasa sesak yang coba untuk kutahan akhirnya pecah juga dalam bentuk tangisan, "Aku minta...maaf," ujarku lagi di tengah isak tangis.
Pelukan hangat kurasakan, dekapan paling nyaman yang kembali kurasakan membuat air mataku semakin deras mengalir. Rasa sakit, kecewa, bersalah, lega dan nyaman bercampur menjadi satu, membuatku bingung, apa yang sebenarnya kurasakan sekarang.
"Ini sudah takdir, kita nggak pernah tau, mungkin... memang kita nggak jodoh," suaranya yang serak dan sedikit isakan yang kudengar membuatku sadar bahwa dia menangis.
Kueratkan pelukan kami dan terus menggumamkan kata maaf, aku tidak sanggup, sungguh, hatiku bertambah sakit saat mendengar isakan demi isakan yang keluar dari mulutnya.
***
Aku terlewat akan satu hal paling penting, sesuatu yang sangat tak kusangka-sangka tersembunyi di dalam kepalanya yang tak begitu besar. Ternyata dia juru kuncinya. Bagaimana bisa mama mempercayakan segala hal pada wanita berambut panjang yang kukenal sebagai pengacara tengik menyebalkan.
Tapi, ada yang berbeda dari dirinya saat aku kembali bertemu dengannya setelah sekian lama, dia terlihat sedikit lebih ramah, apa karena aku tengah terbaring tak berdaya sehingga dia tidak tega untuk melancarkan segala aksi sinis yang selama ini dia lakukan untukku? Atau karena ada kakek yang berdiri di sampingnya, terlihat sudah sangat akrab.
"Maaf, baru kali ini aku sempat menjenguk kamu Seirena,"
Aku mengangguk pelan, tak mau memancing perdebatan sinis lagi dengannya.
"Gimana kabarmu sekarang?"
"Baik," jawabku pelan.
Dia tersenyum kecil, langkah kaki membawanya mendekat padaku, diikuti kakek di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgiveness
Roman d'amourMasa lalu Sakit hati Dendam tiga serangkai yang selalu menghantui di sepanjang hidupku, tapi anehnya aku tidak pernah berpikir untuk melepaskan mimpi buruk itu. Tidak rela Walaupun berjuta umat menyerukan agar aku melupakannya, aku tetap tidak mau...