Part 31

3.2K 235 19
                                    

selamat membaca

***

Seirena

Suara gaduh membuatku dan beberapa pengunjung menoleh ke sumber kegaduhan yang tiba-tiba terjadi, mas-mas yang kuasumsikan sebagai salah satu pelayan di kedai kecil ini memanggil seseorang sambil melambaikan lembaran uang lima puluh ribu, kugeser pandanganku pada seorang laki-laki yang terburu-buru keluar dari kedai.

Posisinya yang membelakangiku, membuatku sulit mengenalinya, tapi entah mengapa, saat melihat laki-laki dengan postur tinggi yang mengenakan pakaian semi formal itu membuatku teringat Haikal, mungkinkan itu Haikal?

Ah, mana mungkin Haikal ada di tempat seperti ini, kalaupun ada pasti kemungkinannya kecil, tak kupedulikan lagi kerunyaman yang terjadi dan lebih memilih memakan pecel lele di hadapanku.

Setelah menangis tersedu-sedu tadi siang, aku tidak jadi memakan kepiting yang telah dimasak oleh bu Siti karena nafsuku telah hilang entah kemana, tapi saat menjelang petang tadi entah mengapa aku begitu ingin makan pecel lele, aneh memang, pasalnya aku jarang sekali makan makanan pinggir jalan seperti ini, bukan berarti tidak suka atau merasa sok kaya, bukan, hanya saja jika aku ingin makan makanan pinggir jalan, aku pasti lebih memilih dibungkus lalu membawanya pulang dan makan di rumah, dan itu sangat merepotkan.

Berbeda dengan kali ini, ada suatu hal dalam diriku yang membuat aku ingin mencoba makan di pinggir jalan, duduk bersama orang-orang asing yang tak kukenal dan makan dalam kebisingan, dan aku pikir ini bukan ide buruk, cukup menyenangkan, walaupun ada beberapa orang tak dikenal menyapa atau mengajak bicara. Selain itu, semuanya menyenangkan.

"Kenapa jo?"

Dari ekor mataku, tampak seorang wanita paruh baya bertanya pada mas-mas yang tadi membuat kegaduhan.

"Ini, si mas yang tadi ninggalin duit lima puluh ribuan, dipanggilin nggak nyaut," jawab si mas-mas.

"Yo wes, disimpen aja, paling dia memang buru-buru,"

***

Rintik hujan masih membentur kaca mobil dan menimbulkan suara gemericik yang saling bersahut-sahutan, kuketuk telunjuk pada stir mobil mengikuti irama musik jazz yang mengalun lembut dari radio.

Sebenarnya memilih musik jazz di tengah malam dalam keadaan sepi bukanlah pilihan tepat, selain membosankan juga berpotensi membuatku mengantuk dan jatuh tertidur sambil menyetir. Itu bahaya, jelas saja, tapi lagi-lagi aku harus berkata bahwa sepertinya ada yang aneh dengan diriku hari ini, musik jazz yang biasanya membuatku mengantuk malah membuatku tenang dan semakin berkonsentrasi saat menyetir, terlebih di malam hari yang jalanan tidak terlalu jelas terlihat.

Selesai makan di kedai pecel lele itu, aku langsung memutuskan untuk pulang, dan jika biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam, maka hari ini aku menghabiskan waktu lebih dari dua jam, dan itu artinya aku terjebak macet, dan artinya juga aku sedang sial.

Terbebas dari kemacetan yang menghimpit membuatku bernapas lega, jalanan yang kulewati sudah mulai merenggang, walaupun laju mobil masih terasa sangat pelan hingga akhirnya memasuki jalanan kompleks perumahan yang agak sepi, barulah aku memacu laju mobil sedikit kencang.

Tadinya kupikir, jalanan akan tetap sepi sampai aku sampai di rumah, tapi nyatanya tidak saat mataku menangkap keributan yang terjadi beberapa meter di depan mobil.

Mataku membelalak saat sadar sepertinya telah terjadi pengeroyokan, dan entah datang dari mana keberanianku aku menghentikan mobil tepat di hadapan mereka yang serempak menghentikan aksi pukul dan menoleh ke arahku sambil menghalau sinar lampu mobil dengan sebelah tangan mereka. Tubuhku gemetar saat melihat tatapan tajam dari mereka, takut jika akhirnya aku malah menjadi korban keganasan saat aku berniat menolong.

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang