mungkin part ini bakalan membosankan, but i hope you enjoy this story, keep reading and don't forget to Vomment
***
Ini benar-benar luar biasa, bagaimana kejadian tadi siang membawa dampak begitu besar padaku, tidak bisanya aku membuat cookies dengan bentuk hati seperti ini, dan parahnya lagi, aku tidak sadar saat membuatnya.
Yang lebih menyabalkan lagi, Ardi yang sepertinya melihat pertemuanku dengan laki-laki itu terus saja menggodaku, dan itu sukses membuat seluruh karyawan chocolove cekikikan nggak jelas.
Ngomong-ngomong tentang laki-laki itu, aku tidak akan menyangkal bahwa aku senang dia menemuiku, ku kira setelah hari itu dia benar-benar tidak akan menemuiku lagi, tapi melihat dia tadi siang dengan alibi sempurna, aku tidak bisa menahan senyumku.
Perlu usaha keras untuk bersikap tenang dan tidak tertawa kencang melihat ekspresinya yang tegang saat bertemu denganku. Dan jangan teriak jika aku ke-pede-an mengatakan dia tertarik padaku.
Oke, sebelum pikiranku makin terkontaminasi, aku harus segera pergi dari dapur ini.
***
Jika aku boleh memilih, aku akan memilih otakku terkontaminasi, daripada melihatnya di hadapanku. Kukira dengan pulang nyaris tengah malam, aku tidak akan bertemu dengan salah satu dari keluarga itu, tapi ternyata aku salah, tingkat ketidak tahuan diri mereka sangatlah tinggi.
"mau apa lagi anda kemari?" tanyaku muak.
Anehnya mantan suami mama itu malah tersenyum lembut, senyum yang sangat menenangkan untukku dulu, tapi tidak untuk sekarang.
"papa cuma mau melihat keadaan kamu, sejak kamu pindah ke rumah ini, papa belum bertemu kamu,"
Aku mendengus mendengar ucapannya.
"masih punya muka ternyata menyebut diri anda 'papa'? lebih baik anda pulang, karena saya tidak sedang ingin menerima tamu hari ini," usirku, dan dia masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
"papa tidak akan pernah bosan meminta maaf untuk kes..."
"dan aku juga tidak akan bosan menganggap maaf anda sebagai sampah,"
Setelah mengatakan itu, aku segera masuk ke dalam rumah, tak kupedulikan lagi bagaimana perasaannya setelah mendengar ucapanku tadi, itu belum seberapa dibandingkan dengan luka yang sudah dia goreskan dihatiku, terutama mama.
Saat aku hendak menaiki tangga, ibu Siti tiba-tiba menghentikanku.
"kenapa bu?"
"iku non, hmm gitar almarhumah nyonya sudah saya ambil dari rumah yang lama, saya taruh di kamar samping kamar non Sei," jelasnya.
"terima kasih ya bu, maaf ngerepotin,"
"ndak papa non, ibu seneng bisa membantu non Sei,"
Setelah mengucapkan terima kasih lagi, aku segera melangkah menaiki tangga, dan lagi-lagi langkahku harus terhenti. Kali ini karena ponsel yang bergetar, siapa sih yang menghubungi tengah malam begini?
"halo?" sapaku tanpa melihat siapa yang menelpon.
"apa aku mengganggumu?" dan suara itu sukses membuatku berdeham sebelum melanjutkan langkah menuju kamar.
"nggak kok," jawabku mencoba tenang.
"syukurlah, kenapa kamu belum tidur?" tanyanya lagi.
"kalau aku tidur, kamu tidak akan punya kesempatan untuk ngobrol denganku sekarang,"
Tawanya terdengar renyah di seberang sana, tawa yang menular karena aku juga ikut tertawa bersamanya, "ternyata aku punya banyak banget kesempatan ya,"
"ya, dan kamu harus bersyukur,"
Dia tertawa lagi, "dasar narsis," ujarnya.
Aku bukannya narsis, tapi siapapun yang berada di posisiku saat ini pasti akan berpikir sama denganku, karena laki-laki satu ini mudah sekali dibaca gerak-geriknya.
"kalau aku bilang, kamu tertarik denganku apa aku disebut narsis?" tanyaku mencoba menantang, dapat kurasakan bahwa dia sedang menahan nafas.
"dan kalau jawabannya 'iya' apa kamu akan percaya?" gantian dia yang bertanya.
"kita bahkan baru dua kali bertemu,"
"bukan masalah untukku,"
"kita hanya mengenal sebatas nama,"
"akan aku pastikan kamu mengenalku luar dan dalam,"
Sepertinya aku sedang di hadapkan dengan seorang tukang paksa dan pantang menyerah, "okay, akan kutunggu, sekarang udah malam, aku harus tidur,"
"ya, selamat tidur, see you,"
Aku masih menatap ponselku saat sambungan telah terputus, laki-laki ini memang ajaib, kenapa hanya bicara sebentar dengannya bisa membuat perasaanku jadi lebih baik, ternyata bukan hanya pelukannya yang menenangkan, mendengar dia berbicara juga menyenangkan.
Haikal
Ini untuk kedua kalinya aku tidak akan meyangkal bahwa aku juga tertarik dengannya.
***
Mimpi buruk itu sukses membuatku tidak bisa tidur lagi, mimpi yang membawaku kedalam kenangan pahit, dimana aku harus melihat mama yang histeris dan tak henti-hentinya menyiksa diri hanya untuk merebut kembali perhatian mantan suaminya, wanita bodoh yang menghabiskan sisa hidupnya dengan meratapi penghianatan suami,
Setelah mimpi itu kucoba untuk kembali tidur, tapi usahaku berbuah nihil, Karena itu kuputuskan untuk kembali ke chocolove, dan disinilah aku sekarang, hanya berdiam diri di dalam mobil tanpa tahu harus berbuat apa.
Kalau aku menghubungi Ardi untuk menemaniku malam ini, tidak mungkin dia mau, kalaupun dia datang pasti dia akan marah-marah karena mengganggu tidurnya, dan tiba-tiba ide itu muncul di otakku, apa sebaiknya aku mengubungi dia saja? Ide bagus.
"haaaaloo," terdengar suara khas bangun tidur, maafkan aku tapi aku butuh teman sekarang.
"hai,"
"siapa ini?" sepertinya dia tidak melihat ID caller.
"ini aku, Seirena,"
"Seirena?" oh ya ampun, inikah laki-laki yang beberapa jam lalu mengaku tertarik padaku?
"Seirena!" kali ini aku yakin dia sudah sepenuhnya sadar, great, "sorry, a aku nggak sadar, ada apa?"
"jika aku minta kamu untuk datang ke tempatku sekarang, apa kamu mau?"
TBC
***
sampai juga di part 5
sampai jumpa di minggu depan
S_A

KAMU SEDANG MEMBACA
Forgiveness
RomanceMasa lalu Sakit hati Dendam tiga serangkai yang selalu menghantui di sepanjang hidupku, tapi anehnya aku tidak pernah berpikir untuk melepaskan mimpi buruk itu. Tidak rela Walaupun berjuta umat menyerukan agar aku melupakannya, aku tetap tidak mau...