Part 21

3.1K 232 2
                                    

selamat baca

***

Seirena

Dahi kami saling menyatu, dengan nafas yang beradu, saling berebut oksigen yang sudah nyaris habis di dalam paru-paru kami berdua. Rasa dari bibirnya masih begitu lekat di bibirku, aku masih sanksi jika dia baru pertama kali berpacaran dan mungkin ciuman ini terhitung sebagai ciuman keduanya, sulit dipercaya karena dari setiap sentuhan yang dia berikuan, terasa seperti ahli, bahkan aku yang notabenenya lebih banyak menjalin hubungan dengan laki-laki saja, takhluk dengan setiap sentuhan yang dia berikan.

Dia memandangku dengan senyuman yang tak pernah surut sejak di atas atap gedung, tergambar jelas di wajahnya sebuah kelegaan dan juga kebahagiaan, berbeda jauh dengan apa yang kurasakan.

Khawatir.

Banyak hal yang membuatku merasa khawatir dengan hubungan ini, aku tidak bisa kembali menyerahkan hatiku padanya, bukannya tidak mau, tapi aku merasa bahwa apa yang terjadi saat ini adalah kesalahan. Kesalahan yang sangat indah.

Meski indah, tapi aku harus melepaskannya, karena dari awal yang namanya kesalahan tidak pernah benar. Jika aku tidak bisa memaksa dia untuk melepaskanku, maka akan kubuat keadaan yang memaksanya untuk melepaskanku.

Aku tidak tahu rencana apa yang harus kulakukan, tapi untuk saat ini aku akan bersikap seperti biasa, hingga pada akhirnya aku harus menyakiti perasaannya. Katakanlah aku wanita kejam, aku tidak akan menyangkalnya.

"Makasih," ucapnya tulus, suaranya menghantarkan kehangatan di dalam hati yang tak seharusnya kunikmati.

"Akan aku pastikan kamu bahagia bersama aku,"

Dia terdengar yakin, tapi bagaimana denganku? Aku tidak pernah yakin akan berbahagia dengan sesuatu yang disebut 'cinta' yang dia tawarkan kepadaku, jujur saja aku ingin merasakannya, merasakan hidup dipenuhi dengan cinta bersama Haikal, tapi bagaimana bisa aku hidup bahagia, sedangkan di setiap hariku akan dikejar-kejar rasa benci.

"Bagaimana caranya kamu membuat aku bahagia Haikal?" tanyaku nyaris berbisik, seluruh tenagaku serasa terserap oleh energi yang tak kuketahui apa.

Matanya tampak menerawang, senyum masih bertengger indah di wajahnya, menggambarkan apa yang ada di dalam otaknya adalah hal-hal indah, "Kita akan menikah, pesta penikahan yang kamu inginkan dan aku inginkan, lalu kita akan menjadi sebuah keluarga kecil, punya anak tiga, yang pertama laki-laki, yang kedua perempuan, dan yang ketiga laki-laki, kita berlima tinggal di rumah yang nyaman, hangat dan diisi dengan canda dan tawa.... setiap hari minggu, aku akan ngajak dua anak laki-laki kita untuk bersih-bersih halaman, menyiram bunga mawar kesayangan ibunya dan membersihkan hewan peliharaan anak perempuan kita, dan juga, kamu dan anak perempuan kita akan bereksperimen di dapur, membuat banyak eclair dan cheesecake,"

Lalu, anak-anak kita mulai beranjak remaja, mereka mulai mengenal rasa ketertarikan dengan lawan jenis, saat itu kita pusing untuk mengarahkan mereka yang masih labil, kita selalu menasihati mereka tentang segala bahaya dari pergaulan bebas, tahun terus berganti, ketiga anak kita sudah beranjak dewasa, mereka menikah dan kita punya banyak cucu yang lucu, aku dan kamu udah mulai menua, kamu mulai cerewet tentang kesehatan, dan memberiku kue-kue yang bebas gula." Dia berhenti dan tertawa sejenak.

"Ada saat di mana kamu dan aku, menghabiskan sore di balkon rumah, saling berpelukan dan mentap damai ke langit yang mulai berubah jingga, semuanya sempurna, karena ada kamu di sisiku saat itu,"

Aku tidak bisa menahan air mata yang tiba-tiba merebak begitu mendengar impiannya yang terdengar sangat indah dan nyata, seharusnya saat ini aku merasa bahagia saat mendengar seorang laki-laki menawarkan sebuah kehidupan yang sangat indah, tapi yang kurasakan saat ini adalah rasa bersalah karena nantinya aku akan menghancurkan impian-impian itu.

Pernikahan, rumah, anak dan hari tua, hal itu tidak akan pernah terjadi di antara kami berdua.

"Apa itu mungkin terjadi?" tanyaku di antara seenggukan.

Dia tersenyum lembut, jarinya yang panjang menghapus air mata yang masih mengalir deras di pipiku, "Hmmm, asal kamu di sampingku," jawabnya tenang.

"Gi..gimana ka..kalau sendainya ada perang, atau ada bencana alam yang ngebuat lokasi rumah kita hancur?" tanyaku tak karuan, karen jujur saja aku tidak bisa merasakan di mana pikiranku saat ini.

"Kita cari rumah lain,"

"Kalau kejadiannya pas acara pernikahan kita?"

"Kita bisa lakukan pernikahan ulang," jawabnya masih terdengar yakin.

"Kalau sendainya kamu tiba-tiba bangkrut dan kita nggak punya dana untuk nikah, gimana?"

Dia terkekeh kecil, "Aku nggak akan bangkrut, kalaupun iya, aku siap kok ngerampok bank untuk buat pesta yang luar biasa megah untuk kita berdua,"

Tawanya menular, akupun ikut tertawa membayangkan dia yang merampok bank demi menggelar acara pernikahan.

"Kenapa ketawa? Kamu nggak percaya kalau aku mau melakukan itu?" tanyanya masih di sela-sela tawanya.

Aku menggeleng kuat, "Ya, aku nggak yakin sama kamu, kalaupun iya, aku ngebayangin pas acara pernikahan kita, tiba-tiba muncul gerombolan polisi yang mau nangkap kamu," komentarku.

"Wah pasti seru tuh," matanya berubah berbinar, aku seperti melihat bohlam lampu yang bersinar terang di atas kepalanya, "Waktu ada polisi nyerang, dalam sekejab, pesta kita hancur berantakan, terus di saat semua orang pada panik dan lari ketakutan, aku akan bawa kamu pergi dari pesta, kita lari sejauh yang kita bisa, terus terdampar di sebuah desa terpencil dan kita memula hidup baru dengan identitas yang disamarkan,"

Aku menatapnya tak percaya, aku tidak menyangka bahwa selama ini, laki-laki yang kukenal adalah laki-laki yang memiliki tingkat khayal yang sangat tinggi, apa dulunya dia termasuk orang yang suka mengarang cerita atau membual?

"Itu terlalu drama Haikal,"

Dia kembali terkekeh, "Intinya, asalkan kamu selalu di sisiku, semua akan baik-baik aja,"

Ucapan 'kamu selalu disisiku' kembali melemparkanku pada kenyataan saat ini, di mana aku tidak akan pernah bisa berada di sisinya.

***

Aku tahu, masih terlalu banyak PR yang belum kukerjakan, termasuk mengenyahkan bocah luar biasa tengik ini dari hadapanku selamanya, bocah tengik-yang bertambah tengitk- itu masih setia bertengger di depan rumahku dengan cengiran menyebalkan yang menguar ke segala penjuru. Aku menghela nafas, capek dengan semua ini, harus berapa lama lagi sih aku hidup di antara orang-orang yang kubenci? Pertanyaan yang sudah pasti jawabannya, ya jelas sampai aku menikahlah, dan sialnya aku tidak tahu kapan akan menikah.

Tanpa kata aku langsung berlalu dari hadapan Ricky, nyaris memasuki mobil, suaranya membuatku menghentikan niat.

"Syukur deh kalo kak Seirena udah nggak papa," ujarnya pelan, tapi masih bisa kudengar.

Kututup kembali pintu mobil, berbalik dan kembali menatapnya dengan tangan bersedekap, "Jangan sok jadi pahlawan, kelakuan kamu semalam....." aku tertawa sinis kearahnya, "Hasilnya nggak seperti yang kamu bayangkan,"

"Hasilnya bakalan seperti yang aku bayangkan," jawabnya yakin, keyakinannya itu membuatku lagi-lagi tertawa sinis, yakin sekali dia.

"Oh ya? Kamu nggak tau apa yang akan terjadi di masa depan, bocah,"

"Dan kak Seirena juga nggak tau apa yang akan terjadi di masa depan, aku yakin dengan instingku,"

Aku kembali mendengus, terserah dialah, meladeninya hanya akan membuang waktu berhargaku saja.

"Kak. Cobalah buat hidup lebih bahagia," ujarnya lembut dan membuat hatiku kembali terbang keangan yang tak mungkin terjadi.

Brengsek

TBC

***

sana_ashia

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang