Part 19

3.1K 243 3
                                    

enjoy this part

***

Seirena

Sisa-sisa guyuran hujan yang mengguyur kota Jakarta sejak tadi siang masih terdengar menerpa atap rumah, walaupun hanya rintik-rintik kecil tetap saja meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang.

Aku berjalan gontai menuruni tangga dari lantai dua menuju dapur, hawa dingin membuatku ingin menyeduh teh untuk mencari sedikit kehangatan. Biasanya ibu Siti yang rajin membuatkanku teh hangat saat hujan turun, tapi berhubung beliau tiba-tiba pulang kampung karena orangtuanya sakit keras sejak kemarin, terpaksalah aku yang membuatnya sendiri.

Kubuka kulkas dan alangkah terkejutnya aku saat melihat isi kulkas hanya ada dua botol air mineral, pasti sangking paniknya bu Siti sampai tidak ingat untuk mengisi kulkas dulu sebelum pergi.

Sepertinya dua botol air mineral itu tidak akan membantu apapun, mana aku tidak menggunakan dispenser, jadilah keinginan untuk membuat teh hangat ditunda, aku harus ke mini market dulu dan membeli air mineral.

Aku menutup pintu kulkas dan beranjak ke kamar untuk mengganti baju yang lebih sopan, dan tak lupa membawa dompet.

Kurapatkan jaketku saat telah berada di luar rumah, hawa dingin ini tidak akan menyurutkan tekatku untuk berjalan kaki ke mini market di ujung kompleks, jarang-jarang kan bisa menikmati sedikit saja udara bersih selepas hujan di kota Jakarta, yah walaupun sedikit tapi jadilah, setidaknya udara bersih bisa memberikan sedikit saja ketenangan, sepertinya aku harus meluangkan waktu untuk liburan ke daerah pegunungan.

Jalanan terlihat sepi lenggang, rintik hujan pun sudah tidak terasa lagi, sesekali kendaraan baik mobil maupun motor melintas, memberikan tambahan penerangan untukku, walaupu sudah ada lampu jalan, tapi cahayanya yang redup tetap membuatku susah berjalan ditengah genangan air yang tak sengaja terinjak.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam tiba-tiba berhenti tepat di sampingku, otomatis aku menghentikan langkah kaki dan menoleh kearah mobil itu, detik berikutnya saat si pengendara keluar dari mobil, aku mendengus keras, ternyata si cilik tak tahu diri, siapa lagi kalau bukan Ricky, palingan juga dia mau memamerkan bahwa dia sudah boleh mengendarai mobil sendiri, sepertinya aku harus menyiapkan umpatan super menyakitkan untuknya.

Di luar rencana, sebelum aku sempat mengumpat, tangannya sudah menarik lenganku dan mendorong tubuhku masuk kedalam mobilnya. Hal ini terasa sangat cepat, membuat aku shock untuk sesaat, dan saat aku sadar ternyata si cilik sudah duduk di depan kemudinya dan melajukan mobilnya kencang.

Aku memandangnya tajam, "Mau apa kamu?" desisku tajam.

Si cilik itu dengan saintainya mengangkat bahu dan menyeringai, oh ternyata selain menyetir mobil sendiri, ternyata dia juga menunjukkan bahwa dia sudah bisa menyeringai di hadapanku. Dasar menyebalkan.

"Ke suatu tempat," jawabnya tenang.

Aku mendengus kesal, "Turunkan aku sekarang," dia seperti tak mendengarku dan terus melajukan mobilnya, "BERHENTI! DAN TURUNKAN AKU SEKARANG!!" teriakku hilang kesabaran, "Berdiri di dekatmu itu sudah sangat menyiksaku, apalagi duduk di satu mobil sempit dan berbagi udara denganmu, apa kamu pikir aku sanggup?"

Telinganya seperti tuli, dia tidak mengindahkan ucapanku, dan tetap memacu mobil dengan kecepatan tinggi sambil bersiul, "Kakak tenang aja, aku nggak bakalan bawa kakak ke tempat yang aneh kok,"

Aku meninju dasbord sebagai sasaran kekesalan, otakku mencari cara agar bisa keluar dari mobil ini, apa aku harus nekat meloncat ke jalan raya saja? Ah tidak, itu sama saja bunuh diri, aku tidak mau mati sia-sia karena bocah itu, lalu apa yang harus kulakukan? Ck.

ForgivenessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang