13. Karena lapar

355 22 0
                                    

"Terima kasih oppa, sudah mengantar kami lagi. Aku akan menyiapkan Snack untuk sore nanti." Aku sedikit membungkuk saat pamitan pada SeokJin.

"Baiklah, aku pergi Haena-ya." SeokJin terlihat tersenyum dengan berat.

Aku sudah membuatnya tak nyaman, keluhku membatin.

"Eonni, semua baik-baik saja kan? Kenapa SeokJin oppa tak mampir?" Eunha bingung melihat mobil SeokJin yang akhirnya berlalu.

"Dia ada rapat Eunha-yaa."

"Jadi?" Telunjuk Eunha mengarah pada perutku.

"Laki-laki." Eunha histeris gembira memelukku. Setelahnya kami harus membungkuk berkali-kali pada pelanggan untuk meminta maaf.
.
.
.
"Ini menantuku. Haena." Aku membungkuk memperkenalkan diri dihadapan ibu-ibu arisan yang lain.

"Akhirnya SeokJin ketemu jodohnya. Kukira dia tak akan mau menikah." Seorang dari mereka bersuara malu-malu.

"Jadi, berapa bulan kandungan mu?" Pertanyaan demi pertanyaan kulayani. Ibu mertuaku tersenyum berkali-kali dia menyentuh punggungku dengan bangga.

"Dia lulusan Amerika. Kue-kue ini semua dari tokonya." Informasi mertuaku membuat melongo yang lainnya.

"Chef nya adalah calon menantuku." Ibu Hoseok menyahut. Maka cerita menjadi terkait saat itu juga. Ku lirik SeokJin yang tersenyum melihat aku jadi pusat perhatian ibu-ibu arisan.

"Sepertinya Haena diterima komunitas." Hyerin mengagetkan SeokJin yang masih tersenyum menatap lega kearah kami yang bicara diruang tamu.

"Lalu mengapa kau tak bergabung dengan mereka?"

"Biarkan saja, jika aku muncul disana momen Haena hilang." Ucap sombong Hyerin.

SeokJin meliriknya sinis. Hyeri terbahak. Boram memperhatikan paman dan ibunya dengan kebingungan.

"Haelmeoni, selamat sore. Apa aku boleh meminjam bibi ku sebentar?" Boram tiba-tiba menghentikan percakapan mereka semua.

"Boram-aa, ada apa?" Neneknya bertanya.

"Paman SeokJin menyuruhku memanggil bibi." Jawab polos Boram.

"Kim SeokJin!" Ibunya berteriak kesal.

"Ibu, aku juga perlu dilayani istriku. Kalian bisa datang ke tokonya lalu membeli kuenya sekalian ghibah disana bukan? Aku lapar bu." Rengek SeokJin saat ibunya mendekatinya.

"Kau ini, kau tak lihat perut Haena besar begitu? Kau harusnya yang melayaninya. Bukan sebaliknya." Ibunya gemas pada anak tertuanya itu.

"Haena tak pernah mengeluh soal itu, ya kan sayang?" Wajahku merona mendengar kata "sayang" SeokJin.

"Anak ini, kapan dewasanya! Percuma kau menikah jika masih manja begini. Haena-ya, urus dia." Ibu mertua menepuk bahuku lembut.

SeokJin yang duduk di ayunan di halaman belakang bersama Boram cemberut.

"Oppa mau makan apa?" Tanya ku mendekatinya.

"Bibi aku mau daging dan ayam."

"Boram-aa, minta ke ibu mu. Bibi harus mengurus paman dulu." Perintah SeokJin pada anak disampingnya itu.

"Paman, apa paman tak malu pada anak umur 6 tahun seperti ku? Harusnya paman malu dengan umur paman itu. Masak sudah tua tak mau mengalah pada ku?" Aku terkikik mendengar kalimat Boram. SeokJin kesal melihat ku malah menertawakannya.

SeokJin berdiri dekatiku dengan kesal yang dibuat-buat. Aku undur perlahan tiap kali SeokJin mendekat. Hingga punggungku membentur dinding tapi SeokJin tetap merangsek dengan tatapan tajam kearah bibir juga sesekali mataku.

CEO's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang