26. Pertengkaran

317 20 0
                                    

"Oppa?" Sapa ku pada pria yang berdiri membelakangi ku dengan kedua tangan berada di saku celananya.

"Senang? Bahagia?" Tanyanya penuh sindiran.

"Maaf, aku minta maaf. Kami tak sengaja bertemu."

"Tak apa, kau juga butuh hiburan bukan? Menemaniku kunjungan bisnis memang membosankan." SeokJin masih sarkas.

"Oppa, belum makan bukan? Aku pesan kan makan?" Aku membujuknya. SeokJin menatap ku, kali ini SeokJin sedikit tenang.

Dari sejak kami menunggu makan siangnya hingga ku membersihkan meja bekas makan siangnya, dia hanya diam, tak bicara sama sekali. Aku sendiri takut untuk memulai pembicaraan. Baru kali ini aku melihatnya marah seperti ini.

"Aku pergi." Aku hanya berdiri diam menahan nafas.

SeokJin meninggalkan ku sendirian di kamar besar itu. Bukankah seharusnya aku yang marah karena dia menyebut nama wanita lain saat mabuk? Mengapa malah jadi dia yang uring-uringan?

Aku terduduk lemas dengan nafas terengah-engah. Jantung ku berdetak tak beraturan. Aku tau, aku sudah membuat SeokJin marah. Walau tanpa sengaja, seharusnya itu tak pernah terjadi. Yang lebih membuat ku terganggu adalah panggilan Chanyeol yang tak biasa.

"Nana? Nana... Nana-ya?" Mengapa Chanyeol memanggil ku demikian didepan SeokJin? Untuk alasan apa? Mengapa aku jadi Nana? Jangan-jangan Nana yang SeokJin maksud adalah Nana yang sama? Artinya aku, Nana itu?

Kepalaku pusing. Aku merebahkan tubuh di ranjang, berharap aku bisa meredakan rasa berkunang-kunang ku. Makin lama aku memejamkan mata, bukan rasa nyaman yang kau dapatkan.

Bunyi mesin mobil dengan jalan lambat karena berbatu membuat ku terguncang. Aku meringkuk di jok belakang karena kantuk dan hangat pemanas otomatis mobil. Hujan di luar dan kabut yang turun membuat suasana menjadi hening mencekam.

Suara percakapan lirih ayah dan ibu terdengar sangat jelas. Sepertinya mereka tak ingin membangunkan tidur ku. Kunang-kunang yang kami lihat tadi mungkin sekarang juga sedang meringkuk memeluk mimpi seperti ku.

Brak!!!
Mobil yang berhenti bergerak karena hentakan kuat dibelakang. Lama kelamaan mobil melaju dengan kencang terkendali. Jeritan ayah dan ibu, guncangan tak berhenti membuat ku tersadar bahwa ini bukan mimpi.

Aku gelagapan melihat kiri dan kanan. Ku tau sesuatu telah terjadi. Kap mobil  berhenti bergetar akhirnya. Untuk sesaat kami terdiam, hingga moncong mobil terlihat merunduk dan makin menukik.

"Ayah, ayah. Kita jatuh ke jurang? Nana...Nana kau tak apa?" Suara panik ibu melihat ayah yang terkulai bersimbah darah diatas kemudi. Aku panik dan berharap pertolongan.

"Tolong! Ibu.... TOLONG! SESEORANG TOLONG!"

Brak!
Dentuman kembali mengguncang. Aku tak tau apa yang menghantam mobil kami dari belakang lagi. Yang ku tau, mobil yang sesaat berhenti itu, kembali maju dengan sangat leluasa.

Kami berguncang sangat hebat. Kaca pecah, serpihannya mengenai sekujur tubuh kami. Tiba-tiba, rasa sangat dingin menyentuh kulit ku.

Air!

Air masuk, pelan-pelan memenuhi mobil. Aku merasakan mobil lama kelamaan makin menuju ke kedalaman.

Mataku melihat ayah dan ibu sudah berhenti bergerak. Kepanikan melanda diriku. Aku memukul-mukul jendela, yang setengah pecah. Mencoba memecahkan dan membuat lubang untuk ku lewati.

Nihil!
Lama kelamaan aku lelah karena kehabisan oksigen. Air mulai masuk melalui hidung ku. Tubuh ku kejang-kejang.

"Haena! Haena! Kim Haena!" Suara lamat-lamat ku dengar. Seseorang memanggil. Rasa dingin lambat laun menjadi hangat. Penciuman ku tertusuk bau wangi yang sangat ku kenal.

"Haena-ya, Haena. Bangun! Sayang! Bangun sayang!" SeokJin menepuk-nepuk pipi ku.

Sungguh mati dia mengutuk dirinya sendiri yang meninggalkan ku sendirian. Kebodohannya yang mencemburui ku menjadi penyesalan besarnya. SeokJin kembali karena ponselnya tertinggal diatas nakas samping ranjang.

Pria itu kembali masuk kamar, setelah sekitar 1 jam tak menyadari ponselnya bersamanya. Siang ini, dia akan meeting dengan rekan bisnisnya. Sadar bahwa benda persegi panjang pipih tak bersamanya, dia kembali.

SeokJin mendengar rintihan dan dengan segera dia berlari menuju ranjang. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat ku menggigil memanggil ayah dan ibu ku. SeokJin berusaha membangunkan ku. Hingga dia melupakan alasannya kembali ke kamar kalian.

"Haena-ya..." Panggilnya dengan gugup dan ketakutan. Aku diam membeku bingung menatapnya yang panik dan berkeringat. Seolah aku baru saja kembali dari kematian. Aku bingung, dengan perubahan tiba-tiba suami ku.

Tangan ku perlahan menyentuh punggungnya. Membuat tubuhnya yang bergetar gelisah berhenti.

"Maaf, maaf!" Tetesan air matanya mengenai pipi ku.

"Mengapa oppa menangis?" Pertanyaan konyol membuatnya mendekap ku erat.

"Oppa perut ku."

"Mian, mianeo." SeokJin melepaskan rengkuhannya.

"Apa yang terjadi?"

SeokJin menggeleng kan kepala. "Aku yang seharusnya bertanya. Kau memanggil ayah dan ibu mu sambil menggigil. Apa yang terjadi?" Kami sama-sama melayangkan pandangan bingung. Berapa detik kemudian tawa memenuhi ruangan.

Melihat ku tertawa dan melihatnya tertawa, membuat penyembuhan tersendiri pada hati kami.

"Mian, kau begini karena ku. Aku hanya cemburu."

"Tak perlu cemburu pada ku, oppa. Mana ada yang akan menyukai ku selain oppa." SeokJin tersenyum simpul.

"Kau masih ingin tidur?"

"Oppa mau kemana?"

"Oppa harus meeting dengan rekanan bisnis baru, tapi sepertinya akan oppa tunda saja. Oppa takut terjadi sesuatu pada kalian."

"Jangan, kami akan baik-baik saja. Atau boleh kami ikut?"

"Oke. Ruangan pak Choi ada sofa besar."

"Mengapa harus begitu? Maksud oppa aku sangat besar?"

"Mian, araseo. Oppa salah, maksudnya jika kau ingin tiduran, akan nyaman jika sofanya besar, cinta ku." SeokJin bingung mencari alasan supaya aku tak tersinggung. Padahal maksud ku hanya menggodanya.

"Apa aku cantik?" Aku menatapnya dari cermin.

"Cantik dan sexy." SeokJin yang sedari tadi melihatku mengganti baju meneguk saliva dengan kepayahan.

"Kenapa tatapan oppa aneh begitu?"

"Tidak, hanya saja. Tidak! Tidak! Oppa akan terlambat meeting. Ayo?!" Tangannya mengandeng ku.

"Oppa bisa menahannya?" Langkahnya terhenti. Dia menatap ku lekat.

"Jangan memancing sayang. "Dia" baru setengah bangun."

Kami masuk ke kantor pak Choi bersama. Sekretaris pak Choi menampakkan wajah tak suka. Ku sadari itu, begitu juga dengan dua pria yang lain dalam ruangan itu.

"Haena-ssi, apa kabar? Wuahh, kalian memang tak terpisahkan."

Senyum simpul ku menular. Kami masuk ke ruangan direktur, sebelas dua belas dengan ruangan SeokJin. Seulgi menunjukkan raut wajah tak sedap. Aku tau bahwa wanita itu tak suka akan kehadiran ku.

"Aku tak bisa meninggalkannya sendirian di hotel Hyung. Tadi istriku mimpi buruk hingga sesak nafas dan kejang. Aku khawatir jika dia sendirian." SeokJin berbisik pada direktur mall-nya.

"Tak apa, lagian ini hanya meeting perkenalan. Toh semua sudah fix. Oh ya CEO perusahaan iklan itu, mengenal mu. Dia yang bilang sendiri."

"Benarkah? Kalau memang begitu, baguslah. Kerjasama akan makin enak bukan?" SeokJin sudah duduk di kursinya. Bersebelahan dengan pak Choi.

Pintu diketuk dari luar, Seulgi membukakan pintu kemudian rekanan kerja SeokJin masuk. Mata kami berdua terbelalak melihat siapa yang muncul siang itu.

"Selamat siang tuan Kim, apa kabar?"

CEO's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang