39. Bertengkar lagi

283 21 0
                                    

"Daebak! Bagaimana bibi tau bayi kami laki-laki?" SeokJin mewakili ku yang juga keheranan.

"Bentuk perut istri mu. Bagi orang kampung seperti kami, tanpa dokter pun kami bisa menebak jenis kelaminnya. Baiklah, ini makan malam kalian. Selamat menikmati."

"Terima kasih bibi." Ucap kami hampir bersamaan. SeokJin menatap ku dengan senyum tertahan. Melihat ku cuek dia menoleh kearah pemilik kedai. Mereka ikut tersenyum lalu menyuruhnya makan.

Pemilik kedai memaklumi kelakuan kami. Mereka sudah tau, gelagat dan tabiat pasangan muda. Tentu saja akan banyak pertengkaran, tapi melihat ku lahap makan, membuat mereka senang. Setidaknya ibu hamil yang sedang marah ini makan banyak. Mereka menganggap itu lucu.

"Bagaimana bisa kalian sampai disini tengah malam begini? Kalian lari dari rumah?" Paman itu bertanya.

"Kami tadi siang jalan-jalan, lalu kami bertengkar. Kemudian istri ku tertidur." Jawab SeokJin ringkas.

"Tak mungkin kalian memaksakan diri untuk pulang ke Seoul malam ini. Apa lagi kaki istri mu bengkak karena terlalu lama ditekuk. Kalian butuh penginapan?" Tanya bibi itu lagi.

"Ah, aku tak tau bibi. Mungkin juga....tidak." jawab SeokJin kemudian setelah beradu mata dengan ku yang dingin.

"Bibi tau penginapan terdekat dari sini? Aku tak ingin pulang." Sambar ku tiba-tiba. SeokJin sampai terhenti makan.

"Ahhh, baiklah. Kami mengelola penginapan kecil di belakang. Semua kamarnya kosong, karena ini bukan musim liburan. Kalian bisa menempati salah satunya. Walau sederhana, aku yakin kalian akan nyaman."

Aku mengangguk singkat kemudian kembali makan. Sup ikan dan udang membuat ku makan dengan lahap. SeokJin bersyukur wanita yang dia cintai tak kehilangan nafsu makan. Setelah makan, kami berjalan menuju belakang kedai. Jalan agak memutar sebelum sampai di rumah-rumah kecil yang berdekatan. Rumah-rumah itu mungkin bisa di sebut cottage sederhana.

Gaya tradisional dengan lampu kuningnya membuat ku merasa kembali ke jaman dulu. SeokJin yang menggandeng ku menangkap sorot mata ku yang tak lepas memperhatikan sebuah rumah di sisi kiri dekat pintu masuk.

"Bibi, apa rumah itu disewakan?" Dia menunjuk rumah yang aku inginkan.

"Kalian mau yang itu? Boleh. Itu juga disewakan. Tunggu sebentar, aku akan mengambil kuncinya."

Kami sudah didalam rumah mungil itu. Hanya sebuah ruang kosong dengan selimut dan bantal tradisional. Juga kamar mandi dibelakang. Lampu bohlam berwarna kuning menggantung tunggal di langit-langit ruangan.

SeokJin menata alas tidur dan selimut untuk ku. Membayangkan kami tidur dalam ruangan yang sama membuat ku enggan. Tapi tidak begitu bagi SeokJin. Pria itu tak akan melepaskan ku begitu saja. Dia keluar untuk kembali ke mobil. Mengambil kantong plastik kemudian berlari kembali.

"Sayang, pakai ini." Dia menyodorkan plastik hitam pada ku. Sabun pencuci wajah seperti yang ku biasanya, handuk kecil, sikat gigi, odol juga lotion tubuh yang ku biasa pakai.

Mau tak mau aku tersentuh. Perhatiannya teruntuk ku begitu detail. Aku masuk ke kamar mandi untuk skin care ku yang sederhana. SeokJin tersenyum karena aku tak menolak walau masih membisu. Ketukan pintu membuat SeokJin membukanya.

"Kalian pasti tak membawa baju ganti. Pakai ini, ini milik anak kami dulu. Ku yakin pas untuk kalian berdua." Bibi kembali menutup pintu setelah SeokJin menerima pakaian itu.

"Na-ya, buka pintunya. Bibi membawakan kita baju ganti." Aku membuka pintu kamar mandi dan mengulurkan tangan ku.

"Jangan terlalu lama didalam sana, airnya dingin, bisa membuat kalian sakit."

SeokJin sudah selesai mencuci wajahnya, mendapati ku sudah didalam selimut dan memunggunginya, dia hanya bisa menghela nafas. Dia ikut masuk dalam selimut.

"Sayang, jangan abaikan oppa." Bisiknya dari belakang ku. Tangannya menyusup masuk diantara lengan dan pinggang ku. Menyentuh perut ku dan mengusapnya perlahan. Gerakan kecil terasa di telapak tangannya.

"Bayi ayah, apa kau tau ibu sedang mendiamkan ayah? Ayah tau ayah berdosa. Tolong bujuk ibu untuk ayah ya nak?"

Air mata ku kembali menetes. Sakit rasanya mendengar SeokJin kembali meminta maaf dengan santai. Maaf tak akan mengubah segalanya. Dia yang telah membunuh orang tua ku. Keluarganya bersekongkol untuk menutupi semua kelakuannya. Yang lebih membuat ku sakit hati, mereka menjadikan ku alat untuk tetap menjaga nama baik mereka dengan berpura-pura menyayangi ku. Bodohnya aku terperdaya.

"Na-ya, bagaimana caranya oppa bisa mendapat maaf mu?" SeokJin kembali bersuara.

"Tolong katakan. Bahkan jika kau menjebloskan oppa ke penjara sekali pun, oppa akan lakukan. Tapi tolong jangan diamkan oppa. Oppa sangat tersiksa."

"Sama dengan ku tuan Kim. Aku juga tersiksa 3 tahun ini. Mencari kebenaran dan siapa yang mencabut nyawa kedua orang tua ku. Tak ku sangka itu adalah kau!" Aku duduk tiba-tiba membuat SeokJin terhenyak dan ikut duduk menghadap ku yang menangis lagi. Hatinya kembali menciut.

"Mari kita ke kantor polisi sekarang juga. Oppa akan bertanggung jawab atas semua hal yang telah oppa lakukan pada mu. Termasuk karena telah memperkosa mu."

"Bagus jika kau sadar sekarang. Heran! Orang kaya seperti kalian begitu enteng bicara tentang hukum. Aku tau, sama seperti 3 tahun lalu, keluarga mu juga akan menutupi kesalahan mu. Salah ku adalah mempercayai mu tuan Kim." Ku keluarkan keluh kesah ku.

"Na-ya." Hatinya teriris saat dia mendengar ku memanggilnya tuan Kim. Dia sadar aku sudah tak menganggapnya suami lagi. Tembok mulai aku bangun diantara kalian berdua.

"Itu adalah sebuah kecelakaan Haena-ya. Aku yang salah. Ibu dan ayah hanya menyayangi anaknya, sama seperti aku menyayangimu dan bayi kita, sayang."

"Stop mengatakan hal itu. Kau lupa bagaimana kau menjadikan ku yatim piatu 3 tahun lalu? Apa kau lupa bagaimana kau menggagahi ku dengan paksa malam itu? Aku kesakitan tuan Kim. Aku menderita. Aku yakin kau tak tau bagaimana rasanya?" Debat ku dengan amarah.

"Kau dan uang kalian menutupi segalanya. Kau membayar hukum, kau menjadikan malam itu malam terkelam dalam hidup ku. Dua kali tuan, dua kali kau membuat ku tak ingin melanjutkan hidup ku. Apa kau tau bagaimana rasanya itu? KAU TAK PERNAH TAU!" Teriakan ku memancing pemilik penginapan berhenti beraktifitas.

Malam sepi itu, membuat suara tinggi ku seperti diberi corong pengeras suara. Lengking marah ku terdengar hingga keluar penginapan. SeokJin menerima marah ku dengan lapang dada. SeokJin berlutut didepan ku. Menundukkan dirinya hingga mencium kaki ku.

Aku terkejut atas perbuatannya itu. Mata ku melihatnya mencium kaki ku, membasahinya dengan tetesan air matanya. Tak ada kalimat atau kata yang dia ucapkan. Tapi perbuatannya membuat ku tersentuh.

Roll film masa lalu kami terputar di pelupuk mata ku. SeokJin berlutut didepan ku di klinik NamJoon. SeokJin membawa ku ke toko perhiasan, memakaikan cincin dijari manis kiri ku. Aku menemaninya di kantor, kami  makan tengah malam pertama kali. Dia bicara pada bayinya, pelukan pertamanya diatas ranjang.

Tangis pertamanya melihat ku terbaring dengan darah. Tatapan teduhnya saat melihat ku tertawa. Sentuhan halus dan tulusnya saat kami bersama. Perjuangannya mempertahankan pernikahan dengan ganti punggungnya yang luka-luka.

Semua tiba-tiba memudar saat aku terbayang bagaimana dia dan keluarganya menyembunyikan diri dari hukuman. Kecelakaan atau bukan, mereka setidaknya menemui ku di rumah sakit dulu, menemui orang tuaku untuk minta maaf. Hanya itu mau ku. Mereka mengakui kesalahan mereka dihadapan orang tuaku. Hanya sesederhana itu.

Aku duduk tak bergerak, meratapi diriku terlebih suami ku yang melupakan harga dirinya sebagai lelaki dan suami. Tak seharusnya dia mencium kaki ku seperti ini. Tangan ku bergerak menangkap bahunya. Tanpa menatapnya aku menegakkan tubuhnya.

"Tolong jaga harga diri mu sebagai laki-laki oppa. Kau punya istri dan anak."

CEO's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang