34. Keadaan umum pasien, sempurna!

351 20 0
                                    

Aku menggeliat melihat ruangan rawat. Mata ku mengunci sosok yang tertidur sambil meringkuk di sofa. Pria itu telah menerima hukumannya. Kasih sayang semua orang untuk ku telah menghukumnya.

Tapi pembicaraan kami tadi masih mengganjal di pikiran. Aku memiringkan tubuh ku, memandang wajah yang tidur lelap itu dengan begitu damai. Aku lupa bahwa dia adalah pria yang sama yang berapa hari lalu begitu ketus dan kalimatnya menyakiti hati mu. Aku juga telah memaafkan perlakuan kasarnya pada ku.

Luka di tubuh ku perlahan pasti akan sembuh, begitu juga luka di hati ku. Aku ingat bagaimana dia melamar ku dulu. Bersimpuh di depan kaki ku dalam klinik NamJoon di saksikan adiknya itu. Aku luluh dengan janjinya yang akan menebus semua kesalahannya.

Aku ingat kata cinta yang dia katakan. Aku ingat betapa manisnya perlakuannya pada ku dan bayi kami. Kesabarannya menunggu ku untuk membuka hati baginya. Semua membuat ku tersenyum dan damai.

"Na-ya?"

Deg!
Aku melupakan sebab musabab aku berakhir di ranjang ini.

"Kau sudah bangun? Kepalamu masih sakit?" SeokJin bergerak begitu perlahan sambil meringis kesakitan.

"Aku baik-baik saja. Punggung oppa bagaimana?"

"Tak sesakit perlakukan ku pada mu. Mian...oppa mianeo." Setelah berhasil berdamai dengan nyeri dibelakangnya, SeokJin duduk di samping ranjang ku.

Aku tersenyum saat dia menyentuh perut besar ku. Tangan ku terulur menumpuk diatas tangannya yang bergerak mengelus rumah putranya itu.

"Jagoan? Kau sudah bangun? Terimakasih sudah menjaga ibu untuk ayah. Maaf ayah hampir mencelakai kalian." Wajah SeokJin tak bisa digambarkan. Beban berat sepertinya menggelayut di bahunya. Menderita namun bersyukur bahagia.

"Dia baik-baik saja didalam sana oppa. Tak usah khawatir. Oppa terlihat kelelahan."

"Jangan khawatirkan aku, aku jadi merasa makin bersalah." Keluhnya.

"Oppa, bisa bantu aku? Aku ingin duduk di sofa." Tak perlu dua kali meminta, SeokJin mengendong ku untuk memindahkan ku. Aroma maskulin dari leher SeokJin tercium hidung ku. Rasanya nyaman bisa sedekat ini dengan pria yang membuat ku jatuh cinta itu.

"Apa kau mau ku pangku saja?" SeokJin yang sedikit membungkuk menungguku mengurai tangan yang menggantung dilehernya.

"Maaf."

"Tak perlu. Aku malah senang sekali jika kau seperti ini selamanya. Aku hanya ingin seperti ini hingga selamanya." Ucapnya ikut duduk di samping ku yang kemudian dia meng-aduh karena punggungnya.

"Tidurlah disini." Pinta ku sambil menepuk paha ku. SeokJin dengan malu-malu menuruti. Kepalanya sudah di paha ku saat aku memainkan rambutnya yang agak gondrong.

"Apa yang terjadi antara oppa dan ayah? Ayah yang membuat punggung oppa terluka?" SeokJin mengangguk tak bersuara.

"Bagaimana bisa?"

"Aku pantas mendapatkan luka ini."

"Aku tak ingin ada bekas luka. Aku tak ingin ada kenangan buruk mengenai ku di tubuh mu."

"Haena-yaa, setelah pulang dari sini, kau akan tinggal dengan ayah dan ibu dirumah. Kau bisa menempati kamar ku dulu. Paviliun di samping rumah adalah kamar ku dulu."

"Baiklah, aku tak akan kesepian lagi. Ada Boram yang akan menemaniku. Tapi kupikir kita hanya harus packing baju-baju saja. Nantinya saat bayi kita lahir, kita akan pulang ke rumah bukan?"

"Mendengar mu tak mendendam buat ku menyesal begitu dalam. Kau ini manusia atau malaikat haena-ya? Tak bisakah kau mengamuk saja supaya kita impas?" Batin SeokJin.

SeokJin bangun kemudian menatap ku. Matanya mencengkeram ku dengan lembut. Tangannya menggenggam tangan ku.

"Hanya kau dan bayi kita yang akan tinggal disana. Oppa akan tetap dirumah."

"Mwo? Mengapa begitu?"

SeokJin menceritakan perjanjiannya dengan orang tuanya. SeokJin memberiku pengertian dan aku bereaksi dengan derai air mata. Jauh dari suami ku adalah hal berat bagi ku. Serumah dengan perbuatan kejamnya akan jauh lebih baik dari pada dipisahkan seperti ini.

Bagaimanapun juga SeokJin adalah suami ku. Ayah dari bayi dalam rahim ku. Dulu SeokJin manis, hanya karena kesalahpahaman kecil maka dia menjadi sadis. Aku sudah memaafkannya, aku pun yakin dia tak akan berani lagi mengulangi kesalahannya lagi.

"Oppa, andwe! Aku butuh oppa, bayi kita butuh ayahnya. Aku akan memohon pada ayah dan ibu." Aku mengguncang dan mencengkeram baju SeokJin membuatnya meringis kesakitan.

"Sayang, tenanglah. Aku akan tetap berkunjung. Kita akan tetap bertemu dirumah ayah. Ini harus kita jalani bersama, supaya ayah dan ibu yakin bahwa kita berdua baik-baik saja. Oppa janji, akan menemui kalian tiap hari." Aku masih tersedu-sedu hingga SeokJin mendekap ku di dadanya. Membiarkan ku meluapkan rasa sedih.

"Oppa mencintai kalian." Aku mengurai dekapan SeokJin. SeokJin tersenyum sangat hambar. Dia sudah tak bisa mengekspresikan keadaan hatinya. Matanya teduh menatap ku. Jari nya mengusap lembut pipi ku.

"Haena-ya, miane..mianeo." kata itu menjadi pengulangan terus-menerus yang muncul di bibir SeokJin.

Aku mendekatkan wajah ku pada wajahnya, hingga bibir kami bersentuhan. Menempel tanpa gerakan lainnya. SeokJin memulai inisiatif untuk menyesap bibir ku. Membiarkan bibirnya membuai bibir istrinya. Kedua benda kenyal itu menyatu dengan intens. Memberikan kejutan listrik pada keduanya.

Sayangnya, kedua air mata kami mengalir di pipi masing-masing. Menyertakan kesedihan kami berdua. Kedua insan ini tau bahwa kami harus menjalani hidup terpisah. Akan ada aturan untuk kami bisa bertemu. Kami pikir ini lebih baik dari pada tidak bisa bertemu sama sekali.

Pintu kamar rawat inap ku dibuka dari luar. Melihat sepasang suami istri itu sedang intens berciuman dalam derai air mata, tamu itu kembali menutup pintu. Dia tak ingin menganggu ketentraman penyaluran kasih sayang keduanya. Dia tersenyum simpul.

"Dok, bagaimana status nyonya Kim?" Perawat bertanya pada pria yang urung masuk kamar ku.

"Keadaan umumnya sempurna." Namjoon melenggang dengan langkah gembira menuju kantornya. Membiarkan perawat melongo bingung menatap lembar catatan perkembangan pasien yang kosong.

Dia berinisiatif untuk mengecek sendiri ke dalam. Tak bisa membiarkan shiftnya tanpa laporan keadaan pasien. Saat dia membuka pintu, dia terkejut. Lalu melakukan hal yang sama yang dilakukan Namjoon tadi. Dia kembali ke mejanya kemudian menuliskan pada lembar catatan rekam medis mu.

Keadaan umum pasien baik, saturasi normal, tekanan darah normal sambil senyum-senyum. Sedangkan kami berdua dia dalam kamar masih setia saling berpagutan. Kali ini SeokJin makin menuntut. Ciumannya bukan lagi menyalurkan kasih sayang. Seiring keringnya air mata yang meleleh di pipi, SeokJin larut hingga menjadi bernafsu.

"Haena-ya..." Matanya menatapku sayu dengan dahi saling menempel.

"Tak bisa oppa, belum boleh."

"Akhh!!" Teriaknya frustasi.

Aku terkekeh-kekeh melihat penderitaan diantara paha suamiku yang sudah menyembul keras. Melihatnya seperti itu membuat ku bersyukur. Suamiku sudah kembali lagi seperti dulu. Tapi tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan seks.

SeokJin harus menunggu hingga saatnya tiba. Itu hukuman dari ku untuknya.

"Na-ya...? Ayolah! Sekali saja. Aku tersiksa." Bujuknya.

"Andwe! Dokter bilang tak boleh."

"Aku akan pelan-pelan, hmmm?" Bujuk rayu SeokJin membuatku tersenyum.

"Oppa, kamar mandi." Aku menunjuk ruangan kecil di samping ranjang. SeokJin menatapku sambil melenggang memasukinya dengan tatapan pengharapan pada ku.

"Jangan berteriak keras-keras, oppa!"

"Akhhh!" Teriakan kesal SeokJin membuat ku terbahak.

Selanjutnya suara desahan SeokJin yang menyebut nama ku terdengar lagi seperti kejadian pagi beberapa bulan lalu di kamarnya. Aku tersenyum sambil menutupi diri dengan selimut karena malu.

"Nana-yaaaaaa, ohhh sayang... haena-ya apa...ahh..ahh..eessshhhhh....sayang....ahhhhhh..." Aku tersenyum malu di bawah selimut.

CEO's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang