Aku berbaring mencari kantuk sambil memunggungi SeokJin. Aku tak tau bagaimana posisi suami ku tidur, apakah dia tidur atau tidak. Aku berbalik badan karena kebas dan masih tak bisa tertidur.
"Oppa, berbaringlah." SeokJin yang lelah menahan kantuknya tak membuatku berkata dua kali. Tubuhnya masuk dalam selimut yang sama dengan ku. Kami berdua berbaring berhadapan.
Tampak jelas keletihan dan sedih di wajahnya. Tangannya menyentuh pipi ku sambil meneteskan air mata kemudian tidur. Aku pun sama, tiba-tiba rasa nyaman menyelimuti tapi itu sangat menganggu.
Pagi menyapa, getar ponsel SeokJin membuat ku terjaga. Nama Hyerin disana. Aku enggan menjawab panggilan itu, lebih enggan pula untuk menyentuhnya. Bukan karena takut mengganggu tapi lebih karena aku tak mau menyentuhnya.
Gerakan ku membuat SeokJin terbangun dan tau bahwa ponselnya bergetar. Melihatnya bangun, aku masuk ke kamar mandi. Aku keluar kamar mandi dan tak mendapati SeokJin dalam kamar. Suaranya terdengar dia sedang bercakap-cakap di luar.
Bibi pemilik penginapan bernama bibi Shin, sedang bercakap dengan SeokJin. Kelihatannya mereka sedang serius. Hingga suaminya memanggilnya untuk sarapan. Kami sarapan bersama.
"Kalian akan pulang hari ini?" Tanya bibi Shin.
SeokJin menoleh menunggu jawab ku yang tak kunjung datang. Dia menghela nafas kemudian tersenyum.
"Kami akan pulang siang ini bibi, maaf merepotkan mu."
Pasangan paruh baya itu, saling mengangguk kemudian tersenyum.
"Apa kau mau jika aku minta tolong pada mu?" Bibi Shin menatap ku.
"Nde? Bantuan apa bibi?"
"Temani aku ke kasar. Suami mu akan membantu di kedai."
SeokJin menoleh memperhatikan ku yang tetap tertunduk dan tetap makan.
Berjalan kaki bersama bibi Shin. Aku mengiyakan permintaannya. Perjalanan ke pasar ditempuh dengan berjalan kaki. "Hanya lima belas menit berjalan. Anggap saja kau olah raga. Ini masih pagi." Begitu bujukan bibi Shin.
Bibi Shin ternyata dikenal banyak orang di kampung nelayan ini. Semua orang yang kami temui membungkuk hormat pada wanita itu. Sepanjang perjalanan, aku disuguhi pemandangan hamparan laut yang tentram dan tenang. Bibi Shin terus memperhatikan ku. Dia menyadari bahwa sorot mata ku penuh pilu dan tekanan.
"Laut sedang teduh sekarang, jadi kami bisa menikmati indahnya pagi setenang ini. Nelayan juga melaut dengan tenang. Keluarga yang ditinggalkan pun akan tidur dengan nyenyak." Bibi Shin membuka suaranya.
"Tapi jika sedang berombak, maka belangan kami pun akan berombak. Mereka yang memaksa melaut, akan meninggalkan keluarga yang was-was dirumah. Tapi itulah hidup bukan? Ada saatnya tenang, ada saatnya berombak."
"Seberapa kuat kapal bisa bertahan di tengah ombak bibi?"
"Tergantung dia terbuat dari apa serta siapa nahkoda dan mualim-nya. Jika mereka tak bisa bahu membahu bekerja sama untuk berlayar, maka kapal apapun itu tak bisa akan lama berlayar."
"Kalian sedang bertengkar? Berapa bulan kandungan mu?"
"Hampir 6 bulan bibi."
"Apa kau tau? Tak ada yang tak bisa dimaafkan. Hanya tak mau atau tak sudi memaafkan saja. Artinya, itu semua tergantung pada diri kalian sendiri. Akan seperti apa keluarga kalian nanti?"
Sedangkan di kedai, SeokJin juga bercakap dengan paman. Pasangan itu ternyata mendengar semua percakapan kami semalam.
"Aku juga pernah seperti kalian sekarang. Bertengkar di jalan dengan istri ku. Kami bahkan berasal dari Ilsan sebenarnya."
"Benarkah paman?"
"Aku kedapatan berselingkuh dengan adik istri ku. Istri ku memaafkan ku. Kemudian istriku memergoki ku bermesraan dengan pembantu kami yang membuat putra kami meninggal tenggelam." SeokJin tercengang dengan kejujuran paman itu.
"Aku bahkan mencium kaki istri ku. Istri ku memaafkan ku. Tapi dia tak pernah kembali seperti dulu. Tapi aku bukan pria yang pantang menyerah. Aku meninggalkan semua kelakuan buruk ku, aku pasrah dengan hukumannya untuk ku. Akhirnya kami punya anak ke dua kami setelah 10 tahun kemudian."
SeokJin mencelos, akan selama itu pula kah dia akan mendapatkan maaf dari istrinya? Kesalahannya hampir sebanding dengan kesalahan paman itu. Wajahnya menjadi tegang saat paman itu memberinya tips.
"Jika ingin mendapat maaf dari istri mu, maka lakukan semua permintaan istrimu tanpa membantah dan bersikaplah baik padanya bahkan disaat dia memperlakukan mu buruk. Jika kau mencintainya. Jika tidak, maka tinggalkan dia secara baik-baik."
Paman meninggalkan SeokJin yang tertegun duduk sendirian didalam kedai. Hingga suara pelanggan pertama datang.
Aku dan bibi Shin sudah di pasar dan menjadi pusat perhatian disana. Semua orang memuji kecantikan ku. Mereka mengira aku adalah putri bibi Shin. Sejenak aku menikmati menjadi populer, senyum ku tak berhenti terpasang di wajah.
"Haena-ya, ingat ini jika kau marah tutup mulut mu rapat-rapat. Emosi akan menjadi sesal pada mu dan luka untuk orang lain. Tenangkan hati dan pikiran sebelum kau memutuskan sesuatu. Kalian pasangan yang serasi."
Dalam perjalanan pulang itu, aku dan bibi Shin banyak berbincang. Nasehatnya sangat mengena di hati ku. Aku berjanji akan melakukan pesan bibi Shin. Memaafkan SeokJin butuh waktu dan usaha, tapi itu tidak sulit jika aku mau. Toh selama ini aku merasakan perhatian dan cintanya pada ku. Tulus atau tidak itu akan menjadi urusannya, yang pasti aku mencintainya.
Diriku sendiri terhenyak saat mengakui dengan gamblang bahwa aku mencintainya. Apakah mencintai harus sesakit ini? Apakah mencintai harus sangat menderita seperti ini? Mengapa cinta hadir dengan membawa kecewa dalam hati.
"Haena-ya, bagaimana pun juga, kau adalah istri. Lakukan kewajiban mu dengan baik, hormati dan hargai dia sebagai lelaki dan suami. Jika suami mu tak mengembalikan sama seperti yang kau berikan, yang pasti kau sudah melakukan tugas mu."
"Terima kasih bibi. Aku akan ingat dan coba lakukan nasehat bibi. Kami berdua sudah sejauh ini, kami bersama tanpa rencana, hingga saat ini kami masih proses saling mengenal. Ini seperti sebuah ujian kenaikan kelas bagi kami."
"Apa kau mencintainya?" Aku menoleh pada bibi Shin. Bibi Shin menepuk punggung ku lembut.
"Aku mencintainya."
"Setelah semua yang terjadi pada kalian?"
Kepala ku tertunduk, sangat berat untuk mengakui bahwa aku masih mencintainya.
"Haena-ya, jika kau lelah maka istirahat." Pancing bibi Shin.
"Aku mencintainya bibi, aku sangat mencintainya, tapi dia melukai ku sangat dalam." Air mata ku menetes.
"Jika kau mencintainya maka beri dia kesempatan ke dua, jika kau mencintainya, maka maafkan dia. Tak ada pernikahan tanpa masalah dan ujian nak."
Aku dan bibi Shin saling memandang. Senyum bibi Shin Dangat teduh. Tangan nya memapah ku yang berjalan dengan tertunduk menyembunyikan tangis. Bibi Shin pasti tau bahwa aku bisa menjadi bijaksana.
"Yeobo!" Panggil suami bibi Shin sambil melambaikan tangan. Pasangan itu saling tersenyum, tak berapa lama kemudian pengantar belanjaan bibi Shin muncul.
Kami bersiap untuk pulang ke Seoul. SeokJin menunggu ku selesai bersiap kemudian seperti biasanya dia menjaga ku. Pasangan pemilik kedai itu memperhatikan kami dari kejauhan.
"Kalian akan kembali ke kota?"
"Iya paman, terima kasih untuk semuanya. Kalian sangat baik pada kami."
"Ah, sesama manusia harus saling tolong menolong bukan? Pergilah! Tak perlu kalian membayar apapun disini. Terima kasih sudah mau tinggal dan makan di kedai kami. Kembalilah jika kalian ingat pada kami." Paman Shin menepuk bahu SeokJin.
Wajah SeokJin menjadi aneh saat uang yang dia sodorkan ditolak oleh pasangan itu. Tangan mereka bergoyang memberi isyarat pada kami untuk pergi.
Mobil menjauh menuju jalur utama. Kami bungkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
CEO's Love Story
FanficHanya untuk menghindari hukuman dan melupakan mantan tunangan. Peristiwa perkosaan membuat hidup gadis yatim piatu pemilik toko roti berubah. Tuan pemilik mall tiba-tiba menjadikan dirinya istri untuk sebuah tanggung jawab. Kisah SeokJ...