Aku duduk di kursi belakang mobil dengan supir mengantar ku pulang. Kebingungan masih menyelimuti ku. Aku pulang sendirian tanpa SeokJin. Bahkan dia tak mengantar ku pergi. Semua baik-baik saja hingga makan siang dan cerita Chanyeol.
Ku coba menerka, apakah ini ada hubungannya dengan Nana? Apa hubungan ku dengan SeokJin? Hingga dia menyebut Nana malam itu. Hingga dia begitu murka dan mengusir ku pergi seperti ini. Makin lama aku memeras otak ku, makin kepala ku berdenyut.
"Nyonya..nyonya Kim. Kita telah sampai." Supir ku membangunkan.
Aku masuk rumah besar ini. Beberapa hari lalu, semua begitu hangat. Tapi sore ini, hawanya terasa menyedihkan. Aku naik turun tangga tak bisa mengangkat semua barang sekaligus. Tak ada orang lain selain aku dirumah ini.
Tangan ku mengelus perut buncit ku. Ku tau, bahwa mungkin kami akan sendirian lagi. Bayi kami yang biasanya aktif, begitu tenang didalam pelukan ku. Dia mungkin tau bahwa ibunya sedang gusar. Ini adalah kali pertamanya, dia jauh dari ayahnya.
Aku menyelesaikan makan malam sendirian jam 20:21. Aku sudah diatas ranjang bersiap untuk tidur. Ponsel ku sunyi. Pesan dan telpon ku diabaikan SeokJin.
Hari berganti, pagi ini aku sudah siap dibelakang kemudi ku untuk kembali ke toko. Membayangkan aroma kue dan roti membuat ku bersemangat.
"Sayang, jadi anak baik ya, temani ibu bekerja. Kita akan bekerja dengan sangat giat, oke?"
"Eonniiii!" Pekik gadis cantik yang menyambut ku dengan kedua tangan terbuka lebar.
"Kau makin mempesona dan empuk." Ucap ku merasakan badan Eunha yang kini tampak subur di mata ku.
"Bilang saja kalau aku gendut."
Hari itu kami sibuk seperti biasanya, sambil menyisipkan cerita yang sering kali menggantung karena pelanggan. Go Eun muncul sesaat sebelum toko tutup. Melihat ku tersenyum kearahnya, dia langsung memeluk.
Kami bertiga duduk sambil berbincang dan tertawa, hingga ponsel ku berbunyi. Nama SeokJin tertera di layar.
"Iya oppa?"
"Jam berapa ini?!" Bentaknya.
"Maaf oppa, aku akan segera pulang."
"Cepat! Aku kelaparan!" Perintahnya sangat kasar.
Tangan ku menggenggam erat ponsel yang ku tempelkan di telinga kiri. Baru sekarang SeokJin membentak dan begitu kasar pada ku.
"Eonni, Eunha, aku harus pulang. SeokJin oppa lapar dirumah."
"Aish, pria itu kapan dewasanya? Memasak kan bisa." Keluh Go Eun ala-ala.
Sepanjang perjalanan, aku tak bisa memperlambat detak jantung ku. Risau dan takut. Tuas pintu terbuka. Aku melihat SeokJin duduk di depan tv sambil menikmati acara olah raga. Kopernya masih di samping sofa ruang tamu.
"Maaf oppa, aku terlambat. Aku kan siapkan makan malam."
"Tak perlu! Makanan ku sedang diantar. Angkat saja koper ku ke atas."
Deg!
Koper miliknya berat. Melihat raut wajah sadis dan dingin milik SeokJin bahkan sedari tadi dia tak memandang ku, aku tau dia tak bercanda hingga aku tak berani membantah. Ku seret koper itu hingga bawah tangga. Aku membukanya lalu mengangkut sebagian isinya keatas.Tiga kali harus ku naik dan turun tangga. Hasilnya aku duduk di ranjang dengan kaki pegal. Perubahan perilaku SeokJin membuat ku kembali ke masa dulu. Ketika awal menikah. SeokJin dulu tak sadis seperti ini. SeokJin dulu berusaha tampil manis dan meluluhkan ku.
Tapi SeokJin sekarang, berubah 360⁰! Bagaimana dengan malam ini? Apakah aku juga akan diusirnya? Atau sebaiknya aku yang menghindar? Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Hingga aku tak sadar bahwa dia sudah masuk kamar. Aku masih duduk memunggunginya sambil memijat betis ku, tak tau jika SeokJin menatap jijik kearah ku.
"Aku akan ke Mall." Ucapnya dingin.
"Maaf, oppa jika aku salah. Tapi apa tak sebaiknya jika oppa tetap disini?"
"Aku tak suka melihat mu."
"Jika begitu biar aku pindah ke kamar tamu saja."
"Terserah!"
Hati ku seolah mengkerut, membuat rongga besar disana. Sakit dan pedih. Kalimat suami ku kini berubah. Tak selembut dulu. Mengapa setelah dia sudah memenangkan hati ku, dia melukai ku seperti ini?
Barang-barang yang berapa hari lalu SeokJin angkat sendiri menuju kamarnya, kini ku kembalikan lagi ke kamar tamu. Kandungan ku yang makin besar membuat gerakan ku tak segesit sebelumnya. Aku perlu waktu lebih lama dari yang SeokJin lakukan.
Dari ekor matanya SeokJin melirik. Pikirannya kacau, wanita yang dicintainya itu, sekarang mengecewakannya. Ketidakjujuran membuatnya kesakitan dan hampa. Melihat punggung mondar-mandirnya memindahkan barang sangat membuatnya marah.
"Mengapa kau lakukan ini padaku Haena-ssi?"
Aku terhenti. Berdiri mematung dengan kotak make up ditangan ku. SeokJin duduk ditepian ranjang menghadap pintu, sedangkan aku berdiri didepan kaca membelakanginya. Haena-ssi? Sejauh itu jarak yang SeokJin bentangkan lagi?
"Maafkan aku oppa, jika aku membuat kesalahan. Tapi semua tak pernah aku lakukan dengan sengaja."
"Mengapa kau tak jujur sejak awal?"
"Aku...minta maaf."
"Maaf mu tak akan merubah keadaan Haena-ssi."
"Iya aku tau. Lalu apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahan ku, oppa?"
"Kita akan bercerai. Tapi sebelumnya, aku juga ingin kau merasakan sakit yang pernah kurasakan."
Tak ada hujan, tapi bunyi menggelegar seperti di samping telingaku. Sangat memekakkan ketika mendengar SeokJin akan menceraikan ku. Butiran bening lolos dari mata. Aku sekarang tau posisiku, tau batas ku juga. Ancamannya sungguh nyata terdengar.
"Aku mengerti. Aku menerima semua keputusan mu. Tapi mohon, biarkan aku membesarkan anak ku." Dengan ketakutan, aku meminta sesuatu yang mustahil pada pria yang menatap ku dengan enggan ini.
"Jika tak ada aku, maka tak ada juga dia. Lahirkan dan aku akan membesarkannya."
"Ohh, aku tau sekarang. Semua hal manis yang kita lakukan berapa Minggu terakhir ini, ternyata karena kau ingin anak ini?"
"Tak usah banyak bicara. Pengacara ku sudah menyiapkan surat dengan klausul yang jelas. Tanda tangani itu, kau akan mendapat kompensasi sangat besar."
"Kau mencoba membeli anak dari ibunya? Wuuah, Daebak!"
Plak!
Tangan SeokJin menampar pipi ku. Dirinya tertegun memandang telapak tangannya yang merah. Pipi ku terasa pedas, air mata sudah tak bisa berhenti sekarang.Aku berjalan keluar kamarnya dengan cepat-cepat. Mata SeokJin juga berair. Hatinya seperti diremas-remas, begitu sakit. Dia tau dia telah melukai ku, juga dirinya sendiri. Separuh rasanya sudah tertambat padaku, tapi laporan detektif swasta yang dia sewa membuatnya bimbang.
Busan-kantor mall milik SeokJin- saat aku dalam perjalanan pulang ke Seoul.
"Tuan, ini hasil penyelidikan kami. Nana adalah nama kecil dari nyonya Kim, istri anda."
SeokJin terhenyak ditempat duduknya. Tangannya membuka lembar demi lembar laporan itu. Detektif memang sudah menjelaskan tentang hasil olah TKP kepolisian. Tak ada yang salah dengan Nana maupun peristiwa itu.
Hanya saja, setiap melihat Nana, dia ingat bagaimana kesaktiannya Ji-won malam itu.
"Oppa, mian. Sakittt." Keluhan itu terngiang tiap kali. Lebih parah jika malam hujan. Mimpi buruk itu pasti akan muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
CEO's Love Story
FanficHanya untuk menghindari hukuman dan melupakan mantan tunangan. Peristiwa perkosaan membuat hidup gadis yatim piatu pemilik toko roti berubah. Tuan pemilik mall tiba-tiba menjadikan dirinya istri untuk sebuah tanggung jawab. Kisah SeokJ...