Bab 19 | Canggung

10.6K 896 16
                                    

Kurang dari satu minggu, Abidzar sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Awalnya Abi Nazar meminta agar Abidzar pulang bersama mereka saja tanpa Yasmine, tetapi Abidzar menolak. Karena menurutnya sekarang ia adalah seorang suami yang memiliki tanggung jawab menjaga istrinya dari bahaya apapun itu, tentu saja cercaan Abi Nazar kemarin mengenai perceraiannya dengan Yasmine sama sekali tidak terlaksana karena Abidzar tidak mau. Umi Syifa juga mendukung seratus persen keputusan Abidzar yang tidak mau menceraikan Yasmine, Abi Nazar tentu kalah suara mengenai hal itu. Hingga akhirnya mau tak mau ia memberi kesempatan satu kali lagi pada Yasmine dengan syarat kalau setelah Abidzar sembuh maka laki-laki itu harus belajar bela diri bersamanya.

Abi Nazar tentu masih merasa khawatir pada putranya yang sama sekali tak jago dalam urusan bela diri, ia meminta hal itu pada Abidzar karena ia ingin jika sewaktu-waktu kejadian ini terulang, Abidzar bisa membalas dengan melindungi dirinya sendiri. Abidzar pun sepertinya tak punya pilihan lain selain mengiyakan permintaan Abi Nazar, selain demi kebaikannya sendiri ia juga harus memiliki ilmu bela diri untuk menjaga Yasmine dari bahaya yang bisa saja wanita itu alami. Abi Nazar sudah berbaik hati memberikan kesempatan kedua bagi mereka, hanya mewujudkan satu permintaan pria paruh baya itu masa ia tidak bisa menerima? Akan sangat tidak baik baginya. 

"Abi mana, Umi?" tanya Abidzar ketika ia tak melihat keberadaan abinya.

"Abi kamu sudah berangkat ke Malang pagi-pagi sekali, di sana ada tabligh Akbar yang mau tak mau abi kamu hadiri." Umi Syifa menjawab sambil mengusap kepala Abidzar.

"Sudah siap untuk pulang?
Kalian akan tinggal di rumah selagi abi pergi beberapa hari, tadi Umi juga sudah meminta izin pada Yasmine. Dia setuju kalau kita semua sementara tinggal di rumah sampai kamu sembuh," ucap Umi Syifa. Abidzar beralih menatap Yasmine, dari tatapan matanya ia seakan bertanya apakah benar yang Umi Syifa katakan. Yasmine hanya mengangguk, ia tidak memiliki pilihan lain selain menurut pesan Abi Nazar sebelum mertuanya itu pergi ke Malang.

"Iya, Umi. Dzar siap," jawab Abidzar sambil tersenyum.

"Yasmine, kamu bantu Abidzar ya? Umi nanti yang bawakan tasnya." Yasmine sedikit terkejut mendengar itu, ia pikir Umi Syifa yang akan membantu Abidzar dan ia yang akan membawakan tas berisi pakaian kotor itu. Rupanya yang terjadi malah sebaliknya.

"T-tapi ... Baik, Umi." Karena tak ada alasan logis di kepalanya untuk menolak, Yasmine akhirnya mengangguk.

Yasmine memegangi kedua lengan Abidzar dan membantu suaminya itu untuk turun, kondisi Abidzar tentu belum sepenuhnya pulih karena ternyata ada beberapa masalah di tubuhnya dan harus berkali-kali ke rumah sakit untuk mengecek. Abidzar diizinkan pulang dengan syarat kalau laki-laki itu tak boleh banyak melakukan aktivitas berat-berat dulu sebelum dinyatakan benar-benar sembuh oleh dokter, ia harus banyak beristirahat. Suasana canggung menyelimuti keduanya ketika Yasmine membantu Abidzar duduk di sebuah kursi roda, ini terjadi semenjak Abi Nazar meminta keduanya untuk bercerai. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orang itu, sepertinya isi kepala mereka tengah memikirkan hal yang berbeda.

"Umi mau duduk di depan aja ya?" Yasmine baru saja akan menyela, tetapi Umi Syifa sudah lebih dulu duduk di depan bersama dengan Rika. Yasmine menghela napas, ia akhirnya membuka pintu mobil bagian belakang kemudian duduk di samping Abidzar.

Astaga demi apapun Yasmine membenci suasana seperti ini, mengapa ia jadi salah tingkah terus setiap mengingat Abidzar membelanya di hadapan kedua orangtua laki-laki itu? Ini semua sangat tak terduga, hanya dengan mendengar kata-kata penuh pembelaan dari Abidzar ia jadi canggung seperti ini. Ke mana Yasmine yang begitu berani dan galak itu? Semuanya seperti hilang seketika, tergantikan dengan kegugupan seorang Yasmine dalam menghadapinya bocah menggemaskan bernama Abidzar yang sayangnya adalah suaminya sendiri.

"B-boleh aku bersandar di bahumu?" tanya Abidzar ragu.

"Hah!?" Yasmine berteriak hingga membuat Rika dan Umi Syifa menoleh ke belakang, tepatnya pada Yasmine yang sedang terbengong.

"Kenapa lo, Yas?" tanya Rika menoleh sekilas ke arah Yasmine kemudian kembali sibuk menyetir.

"G-gue enggak apa-apa kok, Mbak. Lo fokus aja nyetirnya. Jangan sampai lo mencelakai kita semua gara-gara lo yang lagi nyetir tapi sering noleh ke belakang," ujar Yasmine membuat Rika mencibir.

"Gue nanya baik-baik juga jawabnya jutek banget sih, Dek?" cibir Rika yang akhirnya kini kembali fokus pada jalanan.

Masalahnya tadi Yasmine terlalu terkejut dengan perkataan Abidzar sekaligus perkataan Rika.

"Tadi lo ngomong apa? Sorry gue enggak terlalu dengar jelas apa yang lo omongin," ucap Yasmine setelah menetralkan suaranya agar kembali normal. Ia hanya ingin memastikan saja apakah pendengarannya ini benar atau salah.

"T-tadi aku bilang, apa aku boleh bersandar di bahumu? Aku mau tidur sebentar, tapi kaca ini terlalu keras untuk aku bersandar." Yasmine terdiam beberapa saat hingga Abidzar menyentuh lengannya.

"K-kalo enggak boleh juga enggak apa-apa, maaf tadi udah lancang," sambung Abidzar karena hanya mendapat keterdiaman Yasmine.

"B-boleh kok, kalo lo mau istirahat, istirahat aja. Enggak ada masalah," ujar Yasmine. Dengan perlahan, wanita itu menarik kepala Abidzar agar menyandar di bahunya.

"Lo emang harus banyak istirahat biar cepat sembuh," sambungnya mengusap sekilas kepala Abidzar. Kejadian itu refleks Yasmine lakukan hingga kedua orang yang berada di depan sana tersenyum melihat pasangan yang ada di belakang mereka.

"Hmm ... hmm ... mesranya," ucap Rika menggoda Yasmine, baru kali ini ia melihat Yasmine bisa seperhatian itu pada seorang laki-laki.

"Mbak, diem. Jangan ngejek gue," ujar Yasmine kesal.

Yasmine beralih menatap ke arah Abidzar dengan canggung, astaga sudah berapa kali ia mengatakan kalau ia tidak suka suasana seperti ini? Sangat canggung sekali, ini dadanya juga mengapa tak berhenti berdebar? Ayolah, sudah cukup acara dangdutannya di dalam sana, ia sudah lelah menyadari kenyataan kalau dadanya tak mau berhenti berdebar.

"Terima kasih, istri." Abidzar bergumam pelan sambil tersenyum kemudian memejamkan mata.

Mendengar gumaman itu, semakin dahsyat pula debaran di dadanya. Suasana pun semakin canggung, Yasmine bingung ingin menimpali apa gumaman Abidzar itu. Hingga akhirnya Yasmine memutuskan mengangguk singkat saja walaupun Abidzar pasti tidak dapat melihat kalau ia mengangguk karena laki-laki itu sudah memejamkan mata. Sejak kapan Yasmine yang biasanya tak bisa bersikap seperti ini, kini dengan terang-terangan memberikan perhatiannya pada seorang bocah yang adalah suaminya sendiri. Sepertinya ada yang salah dengan dirinya, ia harus ke dokter untuk memeriksakan jantungnya yang tak mau berhenti berdebar.

***
Ada yang tahu penyakit apa yang dialami Yasmine? Wkwk

Alhamdulilah bisa up lagi, doakan ya semoga bisa up cepat seperti ini lagi. Yuk vote komen makanya biar author bisa semangat nulisnya 🌞

Zasmine (Abidzar-Yasmine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang