"A-aku ...."
Tok ... tok ... tok ....
Yasmine tak dapat melanjutkan kata-katanya ketika terdengar suara ketukan pintu. Wanita itu langsung bangkit, ia berjalan menuju pintu. Ternyata yang mengetuk pintu adalah Umi Syifa, wanita paruh baya itu tersenyum menatap Yasmine yang nampaknya canggung.
"Silakan masuk, Umi." Yasmine mempersilakan Umi Syifa masuk, tetapi wanita paruh baya itu malah menahan lengan Yasmine.
"Enggak, Umi cuma mau panggil kalian aja. Makan siang udah Umi siapin, sekalian kamu panggil Dzar ya? Kalau gitu, Umi keluar dulu." Sebelum pergi, Umi Syifa menepuk bahu Yasmine sekilas.
Yasmine kembali memasuki kamar, di sana masih ada Abidzar yang masih duduk di tepi ranjang. Suasana canggung itu kembali dirasakan, padahal beberapa hari yang lalu keadaan sudah lebih baik. Rupanya kecanggungan itu terjadi karena Yasmine sendiri yang tiba-tiba menjadi lebih pendiam dari sebelumnya.
"Umi bilang apa?" tanya Abidzar.
"Umi minta kita ke ruang makan, makan siang udah siap," jawab Yasmine.
"Tapi kamu belum jawab tadi," ucap Abidzar seakan ingat kalau obrolan mereka belum selesai.
"Nanti aja bisa dilanjutin, Abi Nazar pasti juga udah nunggu kita. Gue enggak mau ya kena marah lagi sama abi lo itu," ucap Yasmine.
"Beneran takut sama abi ya?" tanya Abidzar sambil tersenyum geli.
"Siapa yang enggak takut sama orangtua galak kayak abi lo itu ... eh gue bilang gini lo jangan ngadu ke beliau ya," peringat Yasmine. Ia juga salah sih, mengapa pula ia menjelekkan Abi Nazar di depan putranya sendiri?
"Mana mungkin aku aduin kamu," ucap Abidzar menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Ya udah, yuk! Kita keluar, obrolannya kita lanjut nanti aja. Tapi abis ini kamu harus jawab loh yang tadi."
"Iya-iya, kayak khawatir banget gue enggak nanggepin yang tadi aja. Gue duluan ah!" Yasmine berjalan terlebih dulu meninggalkan Abidzar untuk menutupi kegugupannya ketika Abidzar kembali mengungkit obrolan itu.
Abidzar terkekeh pelan, laki-laki itu mengikuti langkah istrinya yang sudah terlebih dulu keluar dari kamarnya. Sesampainya mereka di ruang makan, sudah ada Abi Nazar dan Umi Syifa yang tengah menata makan siang untuk mereka. Yasmine yang tadi sudah percaya diri berjalan terlebih dulu, tiba-tiba saja nyalinya begitu ciut ketika menatap mata tajam Abi Nazar yang seakan menghunus matanya.
"Sampai kapan kamu mau terbuka seperti itu?" tanya Abi Nazar tiba-tiba pada Yasmine.
"Ya, Abi?" Yasmine tak mengerti apa yang Abi Nazar katakan.
"Sampai kapan kamu tidak mau menutup aurat? Menutup aurat itu kewajiban bagi setiap umat muslim perempuan. Dalam Qur'an surah An-Nur sudah disebutkan perintah menutup aurat :
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ - ٣١
Yang artinya : Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung."
Yasmine meneguk ludahnya susah payah ketika mendengar ceramah Abi Nazar panjang kali lebar, apalagi pria paruh baya itu menyebutkan ayat serta artinya tanpa melihat Al-Qur'an atau apapun itu. Yasmine baru ingat kalau Abi Nazar memang bekerja sebagai seorang penceramah, tentu saja beliau hafal mengenai ayat-ayat Al-Qur'an seperti tadi. Dan jika biasanya Yasmine suka sekali mengabaikan apa yang mertuanya itu katakan kali ini Yasmine memilih menunduk. Ia tak berani menatap Abi Nazar yang seakan tengah menunggu tanggapannya.
"Kenapa hanya diam saja?" tanya Abi Nazar.
"Abi, sudah. Ini di meja makan, Abi." Umi Syifa mencoba membujuk suaminya agar tak mengajak Yasmine berdebat di saat mereka tengah berada di ruang makan.
"Abi hanya ingin yang terbaik untuk menantu kita, Umi. Abi ingin agar dia segera menutup auratnya, Umi tahu sendiri 'kan kalau Abi ini adalah seorang penceramah? Apakah pantas seorang menantu penceramah berkeliaran dengan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam?" Yasmine semakin menundukkan pandangannya, ia meremas-remas ujung kaus berlengan pendek yang ia kenakan saat ini. Jujur saja, hatinya sedikit menghangat ketika mendengar Abi Nazar mengakuinya sebagai seorang menantu.
Namun, tak dapat dipungkiri kalau perkataan Abi Nazar juga sedikit mengusik hatinya. Yasmine belum siap menutup auratnya, sama sekali belum siap. Yasmine takut kalau kariernya akan hancur ketika ia menutup aurat, apalagi banyak iklan yang sudah ia terima dan mengharuskan ia menggerai atau mengikat rambutnya.
"Abi ceramah ke tempat satu dan ke tempat lainnya, menjelaskan kewajiban menutup aurat bagi setiap umat muslim perempuan. Tapi ini? Menantu kita sendiri? Bagian dari keluarga kita malah tidak menutup auratnya sama sekali, dan bahkan sering menggunakan pakaian yang tak layak disebut sebagai pakaian. Mau ditaruh di mana wajah, Abi?" tanya Abi Nazar.
"Abi, biar Dzar saja yang menjelaskan semuanya pelan-pelan pada Yasmine. Abi tidak perlu ikut campur, ini menjadi kewajiban Dzar sebagai seorang suami." Mata Abi Nazar memandang putranya tajam.
"Mengapa kamu selalu membelanya di depan, Abi? Sudah cukup Abi menyetujui apa keinginanmu. Seharusnya dia juga menyetujui bahwa dia harus menutup auratnya jika tetap ingin menjadi istrimu dan menjadi menantu keluarga ini," ucap Abi Nazar tegas tak terbantahkan.
"M-maaf, aku sama sekali belum siap." Yasmine membungkuk pelan kemudian ia pergi dari hadapan Abi Nazar, Abidzar dan juga Umi Syifa.
Yasmine tak kembali ke kamar Abidzar, tetapi wanita itu pergi keluar rumah. Ia ingin mencari udara segar sekaligus mencoba menenangkan hatinya yang diliputi kegundahan.
"Eh? Itu bukannya istrinya Abidzar ya? Menantunya Ustadz Nazar?" Suara seseorang berbisik terdengar di telinga Yasmine, ada dua ibu-ibu yang berjalan dari arah yang berbeda.
"Iya bener itu, cantik ya? Tapi sayang enggak pakai hijab." Ibu-ibu di sebelahnya mengangguk.
"Dengar-dengar sih dia seorang model ya? Model yang sering mempertontonkan rambutnya itu loh, pakaiannya juga seksi banget. Apa Ustadz Nazar enggak malu ya? Punya menantu tapi kelakuannya seperti itu, terlalu mementingkan dunia. Habis mati terus masuk neraka juga baru tahu rasa." Perkataan ibu-ibu itu begitu menusuk hati Yasmine, tetapi Yasmine hanya diam. Ia malah mempercepat langkahnya menjauhi ibu-ibu itu.
***
Alhamdulillah bisa double up, pada senang enggak semua? Kalau senang di komen dan vote dong😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Zasmine (Abidzar-Yasmine)
EspiritualAbidzar dan Yasmine, dua orang manusia yang terjebak dalam hubungan pernikahan karena kesalahpahaman yang terjadi atas apa yang masyarakat lihat. Mereka dinikahkan secara paksa di rumah Pak RT karena dianggap akan mencemarkan desa mereka bila dua or...