Entahlah! (54)

1.6K 174 22
                                    

{~Masih dengan cerita yang sama, pada lembaran yang berbeda. Tuhan, bolehkah aku mengharapkan akhir yang lain?~}
.
.
.

2 Tahun kemudian

PRANGG!!
PRANG!!!

Seorang pria berumur terlihat mengamuk seraya melempar beberapa botol kaca kosong secara asal. Entah karena apa? Wajahnya selalu terlihat kesal dengan janggot tebal yang sudah memutih sebagian. Deru nafasnya naik turun tak beraturan dikarenakan amarah sedang menguasainya.

"Ayah!" Tegur seorang lelaki muda lain yang baru masuk ke dalam ruangan kecil tersebut.

"Dasar manusia sialan! Dulu dia ngemis-ngemis di kaki saya minta tolong! Tapi sekarang .... Cih, dasar manusia nggak tau diri!!" Umpatnya mengamuk tanpa tau ke siapa.

"Jangan lagi Yah, nanti Ayah bisa kembali terluka," ujar lelaki muda tadi menyiratkan kekhawatiran.

Bukannya berhenti, Stevano malah semakin marah begitu melihat sosok anaknya datang. Sosok anak yang paling dibencinya, seorang anak yang tak pernah ia inginkan ada, dan sesosok anak yang sudah ia anggap pembawa sial di hidupnya.

"DIAM KAMU ALVIN?! MAU SAYA BUNUH!" Bentak Stevano keras disertai dengan lemparan botol kaca lain yang di lempar ke arah anaknya.

Syukurnya, sasarannya tidak tepat mengenai Alvin. Melainkan melewati nya dan menghantam tembok di belakang Alvin. Biarpun serpihan kaca nya meninggalkan kembali luka di tubuhnya. Bahu kanannya, terluka.

Merasa kekesalannya berkurang, lansung saja Stevano keluar dari rumah kecil itu dan pergi tanpa menatap Alvin lagi.

Alvin menghela nafas lelah. Baru saja dia pulang kerja, malah mendapat sambutan yang hebat dari Ayahnya. Tak ingin melepas penat terlebih dahulu, bergegas Alvin mengobati bahunya, dan mulai membersihkan rumah yang sudah penuh dengan pecahan kaca kosong minuman alkohol.

Setelah perceraian Stevano dan Shila, segalanya berubah drastis. Tak sanggup menahan malu, Stevano lebih memilih pindah jauh dari kehidupan megah yang dulu pernah dia kecapi, bersama Alvin anak yang tidak diperebutkan hak asuhnya tapi malah jatuh ke tangannya. Jika seandainya Alvin itu adalah Elvan mungkin Stevano masih punya alasan untuk berusaha lebih keras guna menata kembali hidupnya, pikirnya.

Ayahnya masih sama. Tidak ada yang berubah darinya, meski teguran berupa cobaan kehidupan telah nyata untuknya. Malahan sekarang dia semakin melunjak, dengan amarah yang sering meledak. Daripada mencoba mencari uang untuk kehidupan sehari-hari, dia lebih memilih untuk mendapatkan uang guna membeli minuman keras. Sedangkan kebutuhan dirumah, ya, Alvin yang mencukupinya. Seorang Alvin yang masih dengan tatapan yang sama, senyum yang sama, dan hati yang sama. Entah, butuh berapa lama lagi Rey, harus mewakili semuanya. Semua amarah yang tidak dirasakannya.

Keseharian Alvin hanyalah mencari uang, entah kadang kerja part time, kuli, bahkan melukis yang paling dicintainya. Dan satu hal lagi, yaitu merindukan tempat hangat yang pernah dia dapatkan di sekolah. Terutama Elvan dan Nina yang selalu memberi tempat untuknya.

°°°°

"Pa, Nina pergi dulu ya," pamit gadis itu seraya mengecup singkat pipi sang Papa yang sedang sarapan.

Lelaki tersebut tersenyum tanpa lupa bersyukur dalam hati, bahwa doanya telah terkabulkan. Anak perempuannya, Nina Valerie Agatha, sudah bisa menerima dirinya juga keluarga nya. Sikap dingin yang dulu dia perlihatkan kini berubah menjadi hangat dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.

Gadis yang baru menginjak umur 20-an itu, terlihat semakin cantik dengan rambut panjang nya yang terurai bebas menyapa angin pagi. Sebuah koper besar pun sudah siap di genggamannya. Mengeluarkan ponselnya, dia mengecek pesan dari Galang tentang jemputannya. Dia hampir sampai.

Al & El (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang