Hujan (57)

1.2K 162 16
                                    

Apa setiap kasih sayang maupun benci membutuhkan alasan?

.

.

.


Lelaki paruh baya tersebut berjalan tergesa-gesa menghindari kerumunan orang seraya berusaha menutupi wajah suramnya dari lirikan-lirikan sinis mantan kenalannya dulu. Bagaimana tidak ? dulu Stevano terkenal dengan bisnis-nya sampai mampu berjalan angkuh di sekitaran mereka. Namun kini, segalanya jelas sudah berbeda.

Klappp

Stevano menutup pintu belakang yang menghubungkan ke taman tersebut dengan bernafas lega. dia masih bersandar di pintu itu sembari berusaha menarik pasukan oksigen di sekitarnya. Setelah turun dari mobil tadi, Stevano memang hendak menemui Elvan, namun entah mengapa, ia malah memilih mundur ketika melihat Alvin dan Elvan yang berpelukan erat seolah rindu yang teramat dalam. Dan entah perasaan apa, Stevano tetiba merasa dirinya menjadi .... Jahat?

"hiks ... hiks .... Nggak boleh! Kamu nggak boleh nangis! Kamu nggak harus nangisin dia! Selama ini dia sudah jahat sama kamu! Bukankah sekarang kamu harus bersyukur karena tidak perlu lagi melihat dia? Bahkan .... Selama-lamanya? " lamunan Stevano terbuyarkan begitu mendengar suara wanita yang familiar baginya. Kemudian dia melangkah berusaha mencari asal suara tersebut. Tidak butuh waktu lama, sekarang Stevano berhasil menemukannya. Wanita tersebut sedang duduk di kursi taman membelakanginya. Terlihat jelas, bahwa wanita tersebut masih bermonolog sambil memukul-mukul dadanya seolah berusaha menguatkan dirinya bahwa dia baik-baik saja.

Tak butuh pertimbangan apapun, Stevano lansung ikut duduk di samping wanita tersebut. Wanita tersebut tentu menoleh begitu merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, dan begitu mengetahui itu Stevano, seketika dia terkejut bukan main. Tidak menyangka bahwa mantan suaminya berani kembali ke sini.

"KENAPA KAMU DISINI! SEJAK KAPAN KAMU BERANI KEMBALI KE SINI?!" bentak wanita itu keras. Syukurlah, mereka hanya sedang berdua.

" Shila ..." panggil Stevano lembut dan ikut bangkit mendekati mantan istrinya yang masih teramat dia cintai.

"JANGAN DEKAT-DEKAT," teriak Shila yang sama sekali tidak di ubris oleh Stevano.

"Tetap di sana!" suara Shila memelan dengan langkahnya yang beringsut mundur.

"Tetap di sana," kini hanya lirihan Shila yang terdengar. Tak kuasa melihat Shila sehancur itu, Stevano menangkap cepat pergelangan Shila dan menariknya ke dalam dekapan.

"Nangis Shil, nangis ....," ucap Stevano seolah mengetahui hal yang sebenarnya Shila butuhkan. Shila tidak lagi membantah ataupun berteriak seperti tadi, dia hanya diam dengan tangan yang bergerak memukul dada bidang Stevano pelan. Dan sesaat kemudian, pukulan lemah tersebut berhenti berganti isak tangis pilu tanpa suara.

"Ibu, Mas ...," lirih nya dengan air mata yang tidak dapat di bendung lagi. "Ibu ....," sambungnya dan dilanjutkan dengan isak tangis yang semakin keras.

Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini Shila memang butuh sandaran yang hangat, seperti Stevano contohnya. Tidak, bukan contoh, Shila memang sedang membutuhkan Stevano. Kenyataannya, memang sedari tadi Shila sedang berusaha untuk tidak menangisi kepergian ibunya. Dia berusaha menyakinkan diri sendiri bahwa dia baik-baik saja. Dia merasa tidak pantas menangisi seseorang seperti ibunya. Tapi ya namanya anak , mau sebeku apapun hatinya, tetap masih tersimpan kehangatan disana. Belum lagi penyesalan-penyesalan yang datang terlambat. Tentang memaafkan ataupun meminta maaf pada ibunya. Karena faktanya, selama ini mereka hanya saling menyakiti dan sama-sama terluka.

Al & El (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang