Chapter~ 26

405 58 15
                                        

20:37

Daniel masih setia berjongkok didepan pintu rumah Jihoon sejak 4 jam yang lalu. Matanya tak henti menatap jalanan didepan berharap sebuah kendaraan muncul dan membawa Jihoon didalamnya. Sayangnya itu hanya harapan saja. Seharusnya Jihoon sudah pulang sejak tadi, tapi sepertinya Jisung membawa Jihoon agar jauh dari jangkauannya. Bahkan saat ia ke rumah sakit siang tadi, satpam disana tidak mengizinkan Daniel masuk, tidak usah ditanya, itu sudah pasti ulah Jisung juga.

Pria itu meremat rambutnya kuat. Seharusnya hal ini tidak terjadi. Jihoon pasti marah padanya, dari tatapan pria itu tadi, Daniel tau jika itu adalah tatapan yang akan diperlihatkan Jihoon jika ia sudah benar-benar kecewa.

Daniel rasanya ingin berteriak, tapi tidak bisa karena jika ia melakukan itu, orang tua Jihoon bisa tau keberadaannya disini. Daniel tidak ingin orang tua mereka tau. Masalah ini cukup diantara mereka saja.

CEO muda itu mengacak rambutnya frustrasi. Akhirnya, dengan hasil yang sia-sia, ia masuk kembali kedalam mobilnya dan berlalu pergi darisana.

Jika saja ia tau tempat tinggal Jisung, Daniel pasti tidak akan ragu-ragu untuk datang kesana dan mencari Jihoon. Ia tidak peduli jika Jisung akan memukulnya lagi, yang penting ia bisa melihat Jihoon dan menjelaskan semuanya.

Nyatanya hari ini akan menjadi hari yang paling buruk untuknya.

.
.
.

"Hyung. Kau tidak perlu sampai segininya"
Jihoon berseru jengah ketika melihat Jisung sejak tadi tidak henti-henti mengikutinya kesana kemari.

"Tidak. Bisa saja kau menghubungi bajingan brengsek itu tanpa sepengetahuanku" kekeuh Jisung keras kepala.

Jihoon memutar bola matanya.
"Namanya Daniel" walaupun memang benar dia bajingan, lanjut Jihoon dalam hati.

Jisung berdecak.

"Aku tidak akan menghubunginya" Jisung mengerutkan alis tidak percaya.

"Aku janji" seru Jihoon lagi. Akhirnya dengan berat hati pria yang lebih tua melenggang pergi menuju ruang tamu, meninggalkan Jihoon yang sedang memasak untuk makan malam mereka.

Jihoon terlihat baik. Tidak ada tangisan, tidak ada air mata, semuanya tampak seperti dia yang biasanya. Dari luar memang terlihat seperti itu, tapi percayalah, rasa sesak itu nyatanya masih ada, belum berkurang sama sekali sejak siang tadi. Dan semuanya bahkan terasa lebih buruk. Andai saja ia bisa menangis, mungkin sesaknya akan berkurang sedikit. Tapi sayangnya tidak ada setetespun air mata yang dapat ia keluarkan, itu membuat perasaannya seolah menggumpal dan membuatnya kesulitan bernapas.

Sakit memang saat melihat Daniel bersama Somi, tapi sakitnya tak seberapa dibanding saat tau jika Daniel berbohong padanya.

Kenapa harus berbohong?

Memangnya ada hubungan macam apa diantara mereka sampai sampai Daniel tak ingin Jihoon tau?

Jihoon terlalu larut dalam pikirannya sampai tak menyadari jika bilah pisau yang tajam sudah merobek jarinya. Pemuda itu baru sadar saat melihat talenan yang bernoda darah. Jihoon sedikit meringis, bukan karena sakit, tapi karena darahnya yang terus merembes kemana-mana. Lukanya tidak terlalu dalam, Jihoon masih bisa mengatasi rasa sakitnya, bahkan sakit di hatinya terasa lebih perih dari luka ditangannya kini.

Dokter muda itu berjalan cepat menuju wastafel untuk membasuh lukanya, setelah selesai ia segera membereskan kekacauan tadi, bisa gawat kalau Jisung tau, pria itu pasti langsung membawanya ke UGD lalu memberinya beberapa jahitan yang sama sekali tak ia butuhkan.

Pria itu menghela nafas dalam-dalam. Jihoon tak punya riwayat penyakit asma, tapi kenapa kini bahkan hanya untuk menarik nafas saja rasanya susah?

Pikirannya bercabang. Ia bahkan tidak bisa melanjutkan memasak lagi. Akhirnya dengan sisa-sisa keinginannya, ia memasak sebisanya untuk makan malam kali ini.

.
.
.

Jisung tidak berkomentar apapun tentang ramen yang Jihoon buat. Pria itu hanya menyantap makanannya dengan lahap. Ia bahkan tak bertanya tentang kemana perginya semua sayuran yang tadi Jihoon potong, dan Jihoon bersyukur untuk itu.

Pemuda itu juga memakan ramennya walau sedikit, setidaknya ia harus mengisi sedikit perutnya karena sejak siang tadi belum ada sedikitpun makanan yang masuk.

Selesai dengan makan malam mereka, Jisung bangkit lalu menumpuk mangkuk keduanya.

"Biar aku yang mencuci mangkuknya. Istirahatlah" seru Jisung sambil mengelus rambut kecoklatan milik adik sepupunya itu.

Jihoon tak membantah, ia hanya mengangguk menurut dan berlalu pergi menuju kamar yang biasa ia tempati jika menginap di apartemen Jisung.

Jisung menatap punggung itu dengan sayu. Ia jelas tau Jihoon jauh dari kata baik-baik saja. Ia teringat saat dulu Jihoon menangis padanya dan berkata Daniel selingkuh, waktu itu usia Jihoon baru 18 tahun, masa labil anak remaja. Mungkin Jihoon benar saat mengatakan jika sekarang ia jauh lebih kuat daripada dulu, tapi entah mengapa Jisung berharap Jihoon bisa menangis padanya dan mengadukan Daniel seperti dulu lagi, setidaknya dengan begitu beban anak itu akan berkurang sedikit karena sudah mencurahkannya pada seseorang.

Jisung hanya berharap yang terbaik untuk adiknya, dan jika itu bukan Daniel, maka ia dengan suka hati akan membantu Jihoon untuk menjauh dari pria itu.

<><><>

Jihoon mengusak matanya sambil melihat sekeliling. Jisung pasti sudah berangkat ke rumah sakit. Jihoon menghela nafas panjang lalu berjalan menuju sofa dan menjatuhkan dirinya disana.

Kakak sepupunya itu memang sudah gila. Ia bahkan mengajukan cuti untuk Jihoon karena takut Daniel akan menemuinya dirumah sakit, padahal kalaupun Jihoon masuk, ia yakin Daniel tetap tidak bisa bertemu dengannya karena Jisung sudah berkomplot dengan satpam.

Ini hari ketiga sejak Jisung membawanya kemari. Jihoon bosan, tapi ia tak bisa melakukan apapun. Ia tak bisa memainkan ponselnya karena setiap kali ponselnya menyala itu hanya akan penuh dengan ribuan pesan dan telepon dari Daniel. Jisung bahkan melarangnya untuk keluar dari sini, alasannya tentu saja karena Daniel. Lama-lama ia seperti tahanan.

Akhirnya Jihoon memutuskan untuk memesan beberapa makanan cepat saji menggunakan telepon rumah. Seperti biasanya, makan bisa mengalihkan pikirannya, dan itu yang Jihoon butuhkan sekarang.

Setelah menunggu beberapa saat, bel apartemen berbunyi nyaring. Jihoon berdecak kagum, cepat sekali pengirimannya, Jihoon mengingatkan dirinya sendiri untuk memberi bintang di situs resmi mereka nanti.

Pemuda itu tidak lupa membawa dompetnya untuk membayar. Dan ketika pintu dibuka, Jihoon langsung menyesalinya.

Disana.

Kang Daniel berdiri diam sambil melihatnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.



TBC

.

.

.

.

.



Holla...

Maaf aku baru sempet up






Don't forget to vote and comment ya guys..

See you❤️


Verloofde [NIELWINK] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang