Nuda mengantarkan Aril, Lina dan Yudi ke pintu gerbang. Ia lalu bergegas kembali ke dalam rumahnya.
"Benda apa itu?" Monolog Nuda melihat benda warna hitam di samping rumah sebelah pot tanaman bunga melati.
Nuda mendekati benda itu. Ternyata itu adalah dompet. Nuda mengambilnya dan kemudian membuka isi dompet itu untuk mengetahui identitas pemiliknya.
"Aril? Ah, pasti dompet Aril terjatuh ketika tadi dia berpura-pura pingsan." Nuda terkekeh mengingat kembali cerita Aril yang sengaja pura-pura pingsan untuk membatalkan lamaran keluarga Fiqri.
Belum sampai selangkah Nuda berjalan, dua foto berukuran agak besar jatuh dari dalam dompet yang dipegang Nuda. Nuda memunguti foto itu. Di dalam satu foto terlihat jelas seorang perempuan berumur sekitar 50 tahun. Di foto yang lain juga terlihat seorang laki-laki seumuran dengan umur perempuan di foto yang pertama.
"Siapa ini? Apa ini kedua orangtua Aril?" Nuda mengamati foto itu dengan teliti.
"Maria Goreti Kolong." Nuda mengeja nama yang tertulis di bagian belakang foto seorang perempuan itu.
"Lambertus Lomes." Nuda kembali mengeja nama yang tertulis di bagian belakang foto laki-laki yang dipegangnya.
"Maria Goreti Kolong, Lambertus Lomes, hm. Namanya kok terdengar aneh ya?" Gumam Nuda.
"Tapi yaudahlah. Besok aja aku tanyain ke Aril," ujar Nuda sambil memasuki rumahnya.
***
"Nuda!" Terdengar suara haja Aminah memanggil Nuda dari lantai bawah.
"Iya, Mi. Ada apa?" sahut Nuda sambil berteriak.
"Sini dulu, Nak. Umi sama Abi mau ngomong," kata haja Aminah lagi.
Nuda tidak terdengar menyahut lagi. Ia sudah terlihat menuruni anak tangga. Menghampiri kedua orangtuanya beserta abangnya yang sedang sibuk menatap ponselnya.
"Ada apa, Bi, Mi?" tanya Nuda setelah ia duduk di samping haji Rojak dan haja Aminah.
"Hm, begini, Abi mau melanjutkan obrolan yang sempat tertunda tentang lamaran keluarga Fiqri kepadamu tadi siang. Apa kamu mau menerima lamaran Fiqri?" kata haji Rojak serius.
"Pasti maulah. Orang udah suka sejak dulu kala!" ujar Adnan tidak melepas pandangan dari ponselnya.
"Pikirkan dulu matang-matang, Nak. Jangan gegabah." Nasehat haja Aminah kepada Nuda.
"Apa benar kau mempunyai perasaan pada Fiqri?" tanya haji Rojak melihat Nuda tidak merespon apa-apa.
"Entahlah, Bi. Tapi untuk menerima lamaran Fiqri, jujur Nuda belum bisa." Nuda berucap datar memandang haji Rojak.
"Kenapa?" tanya haji Rojak.
"Menurut Nuda, perasaan Nuda ke Fiqri hanya sebagai tanda kagum dan nyaman karena kami sudah akrab saja nggak lebih." Pungkas Nuda.
"Jadi, kau menolak lamaran Fiqri?" tanya haji Rojak seperti tidak menerima keputusan Nuda.
"Aduh, Bi. Tanyanya berbelit-belit amat sih. Kalo Nuda sudah bilang begitu ya berarti nggak terima," ujar haja Aminah di samping suaminya.
"Abi nanya karena mau meyakinkan jawaban Nuda gitu lho, Mi."
"Intinya Nuda belum siap untuk menerima lamaran itu," kata Nuda.
"Nah, dengar sendiri kan, Bi? Nuda nggak mau." Haja Aminah meledek suaminya.
"Emang belum move on dari Imam apa sampe lamaran laki-laki sebaik Fiqri kamu tolak?" Haja Rojak terlihat kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU atau TUHANMU❔ (Terbit)
Non-FictionTelah terbit di Chartamedia Publisher🦋 "Ril, buruan nikahin gue. Sekarang Abi udah kasih pilihan nikah sekarang sama lo atau nikah sekarang sama Fiqri!" ujar Nuda kala itu. "Gimana mau tinggal seatap kalau rumah ibadah aja udah beda?" ujar Aril tan...