Matahari sudah tinggi. Nuda menggeliat karena bias cahaya matahari menembus jendela dan mengenai wajahnya. Nuda mengucek-ngucek matanya untuk memperjelas penglihatannya. Tangannya menepuk-nepuk kasur di sebelahnya mencari sosok yang setia mendampinginya di ranjang. Hasilnya nihil. Sosok itu tidak berada di sampingnya.
"Kok tubuhku rasanya pegal sekali ya?" kata Nuda pada dirinya sendiri ketika ia berusaha untuk beranjak dari tidurnya.
Nuda kembali menggerakkan tubuhnya berusaha untuk bangun dari ranjang. Rasanya tubuhnya sangat berat sekali seperti ditindih oleh sesuatu. Akhirnya dengan sekuat tenaga Nuda akhirnya bisa duduk. Setelah duduk pusing dan mata berkunang-kunang menghampirinya.
Nuda memejamkan matanya. Ia kemudian menggeser tubuhnya sampai ke tepi ranjang. Ia menjulurkan kakinya ke lantai dan berusaha untuk berdiri.
"Aow!" Teriak Nuda ketika kakinya sudah berhasil menyentuh lantai dan tubuhnya malah ambruk ke lantai dengan keras.
"Akak, kenapa?" Suara Alana tiba-tiba yang sudah berada di depan pintu. Ia tadi berada di lantai bawah tetapi karena ia mendengar teriakan dari kamar Abangnya makanya ia bergegas ke kamar dan benar saja kaka iparnya terlihat sudah ambruk ke lantai.
"Akak kenapa?" ujar Alana cemas melihat keadaan kaka iparnya itu.
"Rasanya rumah ini seakan berputar-putar, Na." Nuda berujar tanpa membuka matanya.
"Akak sakit?" tanya Alana sambil menempelkan tangannya pada dahi Nuda dengan raut wajah khawatir takut terjadi apa-apa dengan kakak iparnya itu.
"Huek, huek!" Tiba-tiba saja Nuda ingin memuntahkan semua isi perutnya. Nuda berusaha sekuat tenaga untuk segera ke kemar mandi.
Alana membantu Nuda untuk berdiri dan membawanya ke kamar mandi. Dengan terhuyung-huyung Nuda berjalan menuju kamar mandi. Setelah sampai Nuda memuntahkan seluruh isi perutnya. Alana membantu memijat leher bagian belakang kakak iparnya itu.
"Kok rasanya pusing dan mual sekali ya, Na?" kata Nuda setelah selesai memuntahkan seluruh isi perutnya.
"Akak masuk angin kali," sahut Alana merapikan rambut Nuda yang berantakan karena habis bangun tidur.
"Sepertinya begitu. Bang Haydar kemana, Na?" tanya Nuda menatap Alana.
"Nggak tahu, Kak. Ana nanya ke Mama dulu ya di bawah," kata Alana.
"Eh, tunggu. Kakak juga mau ke bawah."
"Emang Akak kuat?" tanya Alana mengkhawatirkan keadaan Nuda. Nuda mengangguk sambil tersenyum.
Alana membantu Nuda memasang niqab untuk kakak iparnya itu. Alana membantu merapikan penampilan Nuda agar tidak ada sehelai rambut pun terlihat oleh lelaki yang bukan muhrim kakak iparnya itu. Setelah selesai mereka berdua turun menghampiri Maria yang sedang duduk menikmati acara televisi pagi.
"Ma, lihat Bang Haydar nggak?" tanya Nuda ketika ia sampai di lantai bawah. Maria menoleh.
"Lho? Kamu kenapa kok pucat begitu?" kata Maria dengan raut wajah khawatir melihat menantunya yang sepertinya tidak baik-baik saja.
"Tadi Kak Nuda pusing dan muntah. Kayanya Kak Nuda masuj angin deh, Ma." Alana menjawab.
"Ya Ampun! Sebentar Mama telpon dokter untuk segera memeriksa keadaanmu," kata Maria sambil mengelurkan ponselnya dengan tergesa-gesa.
"Tidak, Ma. Nuda baik-baik-baik saja, kok. Nuda cuman pengen ketemu Bang Haydar aja," kata Nuda. Tentu saja perkataan Nuda tidak akan dihiraukan oleh Maria yang sudah menelpon Dokter.
"Sini, duduk dulu di sini. Sebentar lagi dokter akan sampai," ujar Maria setelah selesai menelpon Dokter dan memegang tangan menantunya itu lalu mendudukkannya di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU atau TUHANMU❔ (Terbit)
Non-FictionTelah terbit di Chartamedia Publisher🦋 "Ril, buruan nikahin gue. Sekarang Abi udah kasih pilihan nikah sekarang sama lo atau nikah sekarang sama Fiqri!" ujar Nuda kala itu. "Gimana mau tinggal seatap kalau rumah ibadah aja udah beda?" ujar Aril tan...