19

640 94 33
                                    

7 tahun yang lalu, 4 bulan sebelum kecelakaan...
.
.
.
.

Taufan berjalan dengan langkah gontai. Punggungnya terlihat menyedihkan dari belakang, seolah-olah ia baru saja mendapati hal buruk.

"ARGHH KACAU!!!!! KENAPA SIH! NYEBELIN BANGET HIDUP INI! MAU BAHAGIA SUSAH BENER! TOLONGIN DULU GUA NGAPA WEH HUHUHU!"

Taufan berteriak kencang, membuat orang-orang disekitarnya terkejut dan menatapnya bingung dan kesal.

"DIKIRA GUA INI APAAN COBA!? MAINAN!? ENAK AJA! BELUM AJA GUA GEPLAK DAH KEPALA TUH DUA ORANG TUA! PENGEN GEPLAK TAPI SAYANG NYAWA!!! ARRGGGHHH!!!"

"Mereka pikir karena mereka orang dewasa mereka bisa berbuat semaunya apa? Mereka pikir keluarga itu adalah sebuah permainan ya?! Kenapa keluarga ini penuh dengan manipulasi sekali sihh!!!!"

Melihat betapa gilanya Taufan, nampak beberapa orang memandangnya dengan wajah kasihan. Berpikir bahwa anak remaja itu adalah salah satu pasien sakit jiwa yang melarikan diri dari rumah sakit.

Menyedihkan sekali.

Setelah puas berteriak, anak itu akhirnya berjongkok, menahan tangis. Kepalanya terasa sakit, ia ingin melampiaskan amarahnya, membagi masalahnya pada saudaranya. Tapi ia tak bisa. Ia akan menghancurkan hidup mereka jika ia melakukan itu.

"Menjijikkan. Aku hidup dengan drama dalam keluarga." Taufan menunduk sedih.

"Ahhh! Bagaimana jika mereka mengusirku karena aku tau rahasia mereka? Apa aku akan dibuang?" sendu Taufan.

"Nak? Kamu tak apa?"

Taufan mengangkat wajahnya, menatap seorang kakek yang menatapnya khawatir. Kakek itu memiliki rambut berwarna coklat emas dengan mata biru safir, sempat mengingatkannya dengan mata miliknya. Taufan dengan cepat mengusap matanya yang berair.

"Eh-eh iya saya baik kok, hehehe," jawab Taufan. Ia merasa canggung.

"Lantas kenapa kamu duduk disini?"

"Itu.. uhm kaki saya lelah, jadi duduk deh," ujar Taufan asal.

"Kalau begitu, bagaimana jika kamu duduk saja dikursi taman disana? Daripada disini, kamu akan mengganggu orang lain yang berjalan disini soalnya."

Hah?

Taufan langsung menoleh, mendapati benar bahwa dirinya menghalangi jalan orang-orang di troktoar.

Dasar bodohhhh!!! rutuk Taufan, memaki dirinya.

"Ah iya maafkan saya," tutur Taufan, ia lantas bangkit dan membersihkan pakaiannya yang sedikit kotor.

"Tak apa nak."

Kakek itu tersenyum pada Taufan.

"Apa kamu tak apa? Sepertinya kamu menangis?" tanya kakek itu.

Taufan menggeleng. "Tidak, tadi aku hanya kelilipan matanya."

"Sepertinya kakek bukan orang sini ya?" tanya Taufan penasaran.

"Iya, kakek baru datang ke negara ini kemarin. Apa kamu bisa bantu kakek? Kakek sedang mencari alamat ini? Barangkali kamu tau," tanya si kakek.

Taufan melirik sebuah alamat yang tertulis disebuah Tablet putih. Taufan mengerenyit.

"Ini rumahku," gumam Taufan. "Kakek ada urusan apa dialamat ini?" selidik Taufan.

"Kakek ingin mengunjungi anak kakek. Ini pertama kalinya kakek datang."

Hah? Anak? Siapa? Ayah? Bunda?

Taufan berpikir, tidak mungkin jika dia orangtua ayahnya. Kakek nenek dari pihak ayahnya itu sudah meninggal sejak ia dan saudara kembarnya berusia 5 tahun. Tak mungkin kan dia orang tua ibunya?

Please, Remember Us (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang