Step 3 : Pertemuan ketiga.

225 26 0
                                    

Pertemuan dan perkenalan dini hari itu mengantarkan aku dan Alden pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Kondisinya tak begitu baik saa itu, kukira dia tak akan mengingatku. Aku tak banyak berharap. Jika dipertemuan pertama aku menganggapnya rekan kerja, dari pertemuan kedua aku menganggapnya seperti pasien lain yang biasa kutolong. Tapi aku salah. Cukup lama, bulan berganti bulan. Kami bertemu kembali.

Kali selanjutnya aku ingat Alden, aku bahkan masih ingat tubuhnya yang bersimbah darah.

Kali ketiga kami kembali bertemu tengah malam di kantin rumah sakit.

Aku terlalu takut kembali ke apartemen karna itu terlalu larut dan memutuskan untuk mengumpulkan sedikit keberanian dengan sepiring nasi yang terakhir kunikmati untuk makan pagi.

Aku dibuat terkejut saat seorang pria tiba-tiba duduk tepat di hadapanku. Dia tersenyum menyapa, dia Alden.

"Kita bertemu lagi." Ucapnya.

Aku mengangguk, hanya tersenyum. Ada nasi di dalam mulut yang harus kukunyah.

"Ada yang terluka?" Tanyaku, sebenarnya hanya sekedar basa-basi. Baik jika dia menyambut pertanyaanku, tidakpun aku tak tersinggung.

Sebenarnya aku juga ingin menyambung kalimatku dengan "apakah kamu sudah pulih?" Tapi kami tak sedekat itu.

Kulihat dia menggeleng sekilas. "Penemuan mayat."

Aku hanya mengangguk, masih melanjutkan makanku. Aku tak perduli siapa di depanku, aku tak punya alasan untuk sungkan toh aku yang lebih dulu duduk di meja itu.

"Saya sering datang kesini, tapi baru beberapa waktu lalu kita bertemu." Dia kembali mengajakku berbicara.

Sebenarnya aku tak terlalu suka makan sambil berbicara. Butuh sedikit waktu untuk dia mendapatkan jawaban dariku. Lapar di perut juga tak bisa diajak berkompromi. Aku menguyah suapan terakhir lalu menyesap teh manisku, baru kemudian balas menatapnya.

"Kamu keberatan saya duduk disini." Tanyanya lagi.

Aku sebenarnya sedikit mengumpat di dalam hati, bukankah seharusnya dia mengatakannya lebih awal. Tapi tak apa, perutku yang kenyang bisa diajak berbicara baik-baik.

Aku menggeleng pelan. "Ini tempat umum, sekalipun saya tidak suka. Tapi, saya hanya terbiasa tidak makan sambil bicara."

Aku memang sekaku itu sejak dulu, aku tak tahu mengapa. Bisa jadi karena Ibu terlalu banyak mengaturku. Rasanya aku tak pernah belajar menjadi diriku, aku bahkan sulit mengungkapkan seperti apa sebenarnya aku. Aku kaku bukan hanya tentang tata krama melainkan juga bersosialisasi.

"Jadi kenapa kita baru bertemu ?" Tanyanya ulang.

Aku menatap plafon sekilas, sebelum kembali sibuk mengaduk gula di dasar gelas yang tak kunjung larut.

"Kamu kenal seluruh perawat di ruang sakit ini?" Tanyaku balik.

Dia menggeleng.

Membuatku memutuskan jawabanku. "Mungkin ada dua kemungkinan, kita pernah bertemu tapi tidak saling tahu dan melihat atau karena saya memang baru disini."

Tak lagi kudengar suara keluar dari mulut pria di depanku. Ketika aku menengok kulihat dia tengah menatapku lekat.

"Kenapa?" Aku tak tahu arti tatapannya.

"Saya lawan bicara kamu, boleh saya minta agar kamu menatap saya." Pintanya.

Aku sadari, setelah permintaanya itu, aku tak lagi bisa menoleh ke manapun. Aku ingin dia selalu ada di dalam pandangan mataku. Sedikit egois, aku juga ingin, hanya aku yang ditatap sedemikian mesra.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang