Step 20 : Rasa kehilangan.

108 18 0
                                    

"Saya selalu suka melihat Mas dengan kemeja." Ujarku seraya membenarkan kerah bajunya agar kian rapih.

Tak kudengar suaranya, lantas kuangkat wajahku untuk menatapnya. Dia dengan pandangan seolah bertanya 'kenapa?'.

"Bukan apa-apa, hanya suka saya. Tapi, tidak saya pungkiri kamu juga keren dengan kaos yang selalu kamu pakai setiap hari itu." Tambahku.

Dia mengangguk satu kali, "lalu bagaimana saat saat saya memakai seragam?"

Aku menempelkan kepalaku pada dada bidangnya, mendengarkan setiap detak jantungnya yang terasa merdu. "Saya lebih suka saat kamu dengan kaos tipis."

"Kenapa?"

"Karena saya mau kamu bersama saya."

"Kenapa kamu bisa semanis ini?" Ucapnya dengan gelak. Namun berusaha membuang tawa malu pada susunan kaos dan celananya di sudut lemari.

Kurasakan kedua tangan Alden memelukku, terasa hangat dan menyenangkan. Aku balas memeluknya, tubuhku mengikuti Alden yang bergerakan ke kanan dan kiri seolah menimangku.

"Alda..." lidahnya membelai indah namaku.

Aku bergumam untuk jawaban.

"Saya memang tidak selalu bersama kamu, tapi jika ada waktu senggang saya selalu menyertakan kamu disana. Kamu selalu turut di dalam hidup saya, kapan dan dimana pun. Kamu tahu, kamu selalu saya bawa di dalam pikiran saya, dalam kesadaran saya."

Aku berpura-pura cemberut, ingin menggodanya. "Jika di kesadaran, berarti tidak selalu sebab saat kamu tidur tidak akan ada saya."

Dia menggeleng di atas kepalaku. "Saat sedang tidur, saya juga bermimpi sedang berpikir. Saya berpikir bagaimana cara supaya cepat bangun dan bisa menemui kamu, melihat kamu, memeluk kamu dan mencium kamu."

Aku mengikutinya, saat Alden menjauhkan tubuhku, menyentuh wajahku dan mendekatkan wajah kami. Aku mengulas senyum kala dia menciumku, masih tersenyum saat dia kembali memelukku.

Kini kami diam di apartemen ini kembali, bersama peluk Alden, detak jantung Alden dan pemandangan Jakarta dari lantai 8 adalah sesuatu yang tak mungkin bisa kulupakan.

Kubiarkan hening mengisi, seraya meresapi usapan tangannya pada punggungku yang kini terasa perih. Saat kami benar-benar berpisah mungkin rasanya akan kebas.

Aku ingin memenuhi ingatannya, diamku selama ini kurasa tak akan cukup untuk selamanya dia ingat. Tapi tak bisa dipungkiri, bersama Alden aku banyak berubah. Aku bisa berbicara lebih banyak dari pada Alda yang dahulu, walau tak sebanyak orang-orang. Tapi bersama pria itu, aku merasa setiap kataku penuh dengan sambutan olehnya.

"Ini bukan pertama kali Mas tidak pulang ke Yogya untuk merayakan natal, dan saya akan memastikan ini bukan natal terburuk yang kamu punya." Ucapku lagi. Masih sembari tersenyum, kali ini menatap wajahnya yang begitu menenangkan untukku.

Dikecupnya keningku.

Aku menatapnya, "Mas mau saya masakkan apa nanti malam? Saya punya pete, tapi bukankah pete goreng terlalu biasa untuk malam natal?" Aku terkekeh sendiri.

"Apapun masakan kamu, saya menyukainya. Bagaimana dengan pete balado?" Usulnya usil.

Aku mengangguk dan hampir mendengus, sementara dia menahan tawa.

"Mas...kata Bang Ade belakangan Mas sedikit oleng? Rupanya Nara benar, laki-laki itu mudah hilang fokus hanya perkara perempuan." Aku memulai topik lain dengan senyuman bangga.

Kali ini dia yang mendengus, namun peluknya semakin erat. "Ya, saya oleng dan saya butuh pelukan kamu untuk tetap waras."

Kuulas senyum tipis, menepuk pelan-pelan lengannya yang kokoh. Sesekali dia ingin untuk dipelakukan dengan manja.

Sesaat di dalam benak aku bertanya-tanya, sebesar apa arti seorang Alda bagi Alden. Apakah sebanyak kenangan tentangku yang dia milikki? Sebanyak apa juga ingatan tentangku yang dia simpan.

"Apa kamu takut kehilangan saya?" Lagi aku bertanya.

"Bagaimana saya bisa baik-baik saja saat kamu memikirkan sebuah perpisahan. Rasanya saya hampir gila, Alda!" Suaranya lirih dan penuh penekanan.

Aku membatu sesaat, namun lekas sadar kala menatap mata tajamnya, jelas aku melihat luka disana. Tapi disini sungguh bukan hanya dia yang terluka, aku merasakan hal serupa.

"Saya lebih dari takut untuk kehilangan kamu!" Sekali lagi dia menekankan.

"Jangan pernah menakutkan hal itu," Aku diam sesaat, tapi senyumku terbit selalu untuknya. "Kamu tidak akan pernah kehilangan saya."

"Lalu mengapa kamu membahas tentang perpisahan."

Aku diam, menatap sorotnya tanpa kata. Tatapan yang tak pernah berubah dia berikan padaku, aku tahu kelak akan ada perempuan lain yang dia tatap sedemikian rupa setelah dia mulai enggan menatapku.

Dia tak akan kehilanganku, sebab aku yang akan kehilangan dia. Perlu kusuarakan isi pikiranku, "Apa saya yang akan kehilangan kamu?"

Dia menatapku kian tajam. "Jangan berpikir untuk kehilangan saya."

Senyumku kecut.

"Tidak! Jangan pernah berpikir demikian."  Selaknya lagi.

"Saya belum kehilangan kamu?" Tanyaku lagi.

"Kamu tidak akan pernah kehilangan saya." Dia berusaha keras menyakinkanku.

Pelan kusentuh rahang kokohnya, rambut yang mulai tumbuh tajam menusuk jariku. Berlanjut untuk kususuri wajahnya. Dahi indah yang terlalu sering mengerut hingga nampak garis samar disana, tanganku kusentuhkan pada ujung hidungnya. Dia memejamkan mata. Bibir sedangnya yang begitu lembut kala melumat bibirku.

Aku tak akan pernah melupakan wajah ini. Kutatap lamat-lamat, alis kokoh yang menaungi dua mata pekatnya.

"Ayo bersiap-siap, jangan sampai kamu terlambat untuk misa." Kututup hening dengan kalimatku, senyumku yang kali ini dia balas serupa.

Wajahnya mendekat ke arahku, mengecup bibirku singkat. "Saya sangat mencintai Alda."

"Saya mencintai kamu."

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang