Seringkali kudengar orang-orang mengatakan titik tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan. Berkali-kali kubaca dan mencoba memahami artinya. Dan ketika aku mencoba melakukannya, berkali-kali juga aku gagal.
Kukira aku mencintainya cukup baik, terbaik yang bisa kulakukan, namun aku tak mencapai titik tertinggi itu. Masih ada bayang-bayang yang tak bisa kulepaskan. Masih ada hal-hal yang tak mungkin kuikhlaskan untuk hilang dari hidupku.
Aku masih berdoa banyak hal untuknya. Semoga hal-hal baik selalu mengelilinginya, semoga Tuhan mempertemukan kami kelak tanpa kusengaja. Berkali-kali aku punya niatan untuk mencarinya, mendatanginya, namun aku ragu akankah mampu meloloskan sosoknya lagi nanti.
Masih tak bisa kuikhlaskan dia hilang dari sisiku. Rasanya begitu sulit dan hampir mustahil kulakukan. Bukan aku tak berusaha, tapi dia terlalu berarti untukku. Jutaan kali juga aku ingin dia hilang, namun ingatan tetangnya selalu saja datang lagi dan lagi.
Usiaku hari ini genap 33 tahun, peringatan ulang tahun yang kesekian tanpa dia lagi di sisiku. Tanpa peringatan apapun dan dari siapapun, termasuk diriku sendiri.
Tahun-tahun berlalu, dan aku terlalu sibuk dengan segala bayang-bayang ramai kami. Membayangkan kala hangatnya dia memelukku, menggengam erat jari-jariku, kalimat-kalimatnya yang selalu membuatku merasa baik-baik saja.
Tujuh tahun berlalu tanpa dia di sisiku. Terasa berat dijalani, dengan bayangan masa lalu yang terasa begitu magis. Aku masih terus datang ke apartemen itu meski harus menempuh jarak ratusan kilo meter dari Semarang ke Jakarta.
Wanita kebanyakan seusiaku mungkin kini tengah menimang anak keduanya. Tapi aku masih disini dengan segala kesendirianku.
Aku mengingat pertemuanku dengan seseorang beberapa hari lalu. Jika bukan karena aku menghormati dokter Rira aku jelas-jelas tak akan pernah datang ke pertemuan itu. Bertemu dengan seseorang yang tak pernah kubayangkan ada.
"Kita sering bertemu di rumah sakit, beberapa kali berpepasan saat saya datang ke Karyadi untuk rapat dengan petinggi." Ujar pria empat puluhan itu, dia tampak sombong.
"Saya mengikuti rapat yang sama dengan Anda minggu lalu." Jawabku perlu dia ketahui.
"Kamu bisa panggil saya Mas Irwan."
Aku diam tak menjawabnya.
Tak lama makanan datang, aku mengernyit saat sepiring makanan dan minuman tersaji di hadapanku. Aku bahkan tak merasa memesan apapun.
Kurasa dia datang lebih cepat, tapi aku tak terlambat. Bahkan saat aku datang seorang pelayan baru saja enyah dari meja yang sebelumnya hanya dia isi sendiri. Aku masih bisa menahan diriku untuk tak protes meski sangat ingin, memfokuskan pandanganku pada seporsi salad sayur. Aku tak tahu maksud dia memesankan ini untukku.
Sekian menit berlalu, hingga makanan miliknya tandas. Namun, aku sengaja mengunyah lambat selada di piringku.
"Saya sengaja meminta dokter Rira untuk mempertemukan saya dengan kamu, saya suka dengan kamu." Ujarnya tanpa aling-aling.
Terlalu ketara tanpa perlu dia katakan.
"Saya dengar kamu masih lajang di usia 33 tahun. Kamu akan senang jika menikah dengan saya. Tidak akan ada lagi sebuatan perawan tua 'kan?"
Kali ini aku meletakkan sendokku, menatapnya lebih fokus. Aku terganggu dengan kalimat bodoh macam itu.
"Saya rasa tidak ada yang salah melajang di usia ini." Ucapku lugas.
"Saya ingin menikah dengan kamu."
Aku mengangkat satu alisku, "kenapa?"
"Saya butuh seorang wanita untuk menjadi figur bagi anak-anak saya, juga seorang istri yang mengurus semua keperluan saya."
"Yang Anda perlukan itu pengasuh anak dan seorang ART."
Dia tertawa mendengus, "kamu menolak saya?"
"Ada alasan saya untuk menerima Anda?"
"Kamu tidak malu melajang di usia tiga puluhan?"
"Saya akan lebih malu menjadi istri sosok seperti Anda."
Kali ini dia terbahak, wajahnya nampak jengkel. "Sekarang saya tahu alasan kamu menjadi perawan tua."
Aku diam dengan ekspresi datarku, tak ingin membenarkan yang salah.
"Kamu tahu kenapa saya pesankan salad?"
"Tidak, tapi seharusnya saya bisa memesan makanan saya sendiri."
"Saya tidak suka perempuan gemuk, kamu cukup dengan salad untuk mempertahankan tubuh kamu. Salah satu alasan saya bercerai dengan istri saya ya karena dia tidak bisa merawat tubuh. Saya cukup terpikat saat pertama kali melihat kamu, beruntung bu Rira adalah kawan saya." Ocehnya panjang sekali.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Segera kuraih tasku, menggantungkannya di pundak setelah mengeluarkan dua lembar uang yang kurasa lebih dari cukup untuk membayar harga makanaku. Menindih kertas itu dengan gelas minumku.
"Maaf saya undur diri, ada beberapa hal yang harus saya urus." Ucapku masih berusaha santun.
"Kenapa tidak kamu batalkan saja, saya bahkan menyiapkan waktu untuk kamu. Saya meninggalkan rapat dengan Gubernur dan juga proyek triliunan." Dia tak terima. Nada membentaknya membuatku terkejut, beberapa orang bakan menoleh.
"Maaf,"
"Urusan sepenting apa memang yang dimiliki perempuan."
Aku tak bekata-kata lagi. Aku bisa saja menjawabnya, tapi aku masih mengingat dokter Rira yang begitu baik padaku.
Berkali-kali aku datang untuk dikenalkan dengan seseorang, meski yang kulakukan hanya sekedar formalitas. Namun, baru kali itu aku merasa benar-benar terhina. Kurasa dia bukan seseorang dengan tata krama. Tipe laki-laki yang memandang perempuun sebagai objek yang harus mengikuti semua perintahnya.
Alden bukan pria seperti itu, dia sangat baik dalam memperlakukan perempuan. Dia tipe pria yang begitu menghargai perempuan, bukan hanya aku tapi, seluruh perempuan yang dia temui. Bukan hanya dalam contoh sederhana memilih makanan, dia bahkan selalu menghargaiku dalam berbagai aspeķ, menghargai setiap pendapatku saat kami bertukar pendapat dan sebagainya.
Alden nyaris sempurna, dia terlalu baik untuk dibandingakan. Terlalu buruk sebagai cinta pertama sebab tak akan bisa kutemukan yang lebih baik darinya.
Kuhela napas panjang, melepas mukenahku. Menatap langit malam yang tiga jam lalu berganti tanggal ke hati ulang tahunku dari tepi balkon. Jika dia disini, dia pastik akan memelukku dari belakang, melingkarkan lengannya pada perutku dan berbisik pada telingaku.
"Selamat ulang tahun Esmeralda."
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Kamis, 29 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...