Step 34 : Nanti

95 17 3
                                    

Aku tahu, yang kutangisi adalah hal yang sia-sia dan percuma. Meski aku menangis hingga lemas dan masuk rumah sakit, bahkan seandainya sampai menangis darah dia tetap tak akan kembali padaku.

Percuma mematri segala ingatanku tentangnya, jika kata ikhlas semakin jauh kuraih.

Tapi lambat laun kewarasanku berkurang memang. Aku bingung apa yang kutangisi berhari-hati. Jika itu adalah perpisahanku dan dia yang kini tak bisa disebut kami, jelaslah aku bodoh. Aku yang melakukan ini, mengambil keputusanku sendiri. Tanpa Alden tahu, tanpa pria itu mau.

Aku tak mengingkari janjiku pada Tante Rianti, tapi aku meninggalkan putranya. Begitu lucu juga, sanggup meninggalkan Alden, namun tak sanggup melepaskan pria itu beserta segala bayangannya dari ingatanku.

Tapi di sisa kewarasanku yang kumiliki. Meninggalkan Alden adalah keputusan yang tepat. Aku tahu mungkin itu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya.

Dia harus menikah, membangun sebuah keluarga. Memiliki anak yang akan memanggilnya Ayah dan seorang istri. Sulit membayangkannya, namun aku harus.

Aku perlu mengingat yang dikatakan Ibu kemarin sore.

Duduk menyendiri di gazebo belakang rumah, menatap kosong pada puluhan ikan hias di kolam milik Bapak ketika Ibu datang.

Kubenarkan posisi dudukku, menyisihkan tempat lebih untuk Ibu duduk di sampingku. Aku tersenyum padanya, dia masih dengan balutan batik sepulang mengajar dari sekolah.

"Ibu bawakan thai tea untuk kamu." Ibu menyerahkan gelas cup plastik berisi minuman itu padaku.

Sejanak aku cukup terkejut.

Ibu nampak menyadarinya, "Ibu dulu sering lihat kamu beli minuman itu. Minum sembunyi-sembunyi di luar pagar rumah, karena Ibu yang suka memarahi kamu kalau sampai tahu."

Aku tertawa tanpa suara, menatap Ibu. "Ibu benar, ini terlalu manis dan tidak baik untuk kesehatan." Aku ingat yang Ibu katakan, "teh tanpa gula lebih baik buat Alda."

Hubunganku dengan Ibu memang membaik sejak itu. Aku meminta maaf pada Ibu, dan Ibu memaafkanku. Ibu meminta maaf padaku, dan aku tak mungkin untuk tidak memaafkannya.

Kami duduk berdampingan menikmati pemandangan di depan, pekarangan hijau yang berisi kolam ikan Bapak dan berbagai tanaman milik Ibu. Terasa hening dan menenangkan, sesekali suara kereta terdengar hingga kesini.

"Alda sudah baik-baik saja?" Ucap Ibu bertanya.

Aku mengalihkan pandangan dari awan yang bergerak lambat. Menatap Ibu penuh, pelan aku mengangguk.

"Alda baik-baik saja?" Dia mengulang.

Aku tersenyum, "Alda harus baik-baik saja Bu, tapi untuk ikhlas rasanya sulit sekali."

Ibu mengangguk, dia meraih tanganku dan terasa hangat. "Terkadang mengikhlaskan lebih sulit dari memaafkan. Seperti Alda yang bisa memaafkan Ibu, dan sulit mengikhlaskan Alden."

"Bu..."

"Alda mencintai dia?" Tanya Ibu.

Aku mengangguk. "Dan akan selalu..."

"Itu terserah Alda."

"Lalu apa yang harus Alda lakukan Bu?" Aku bertanya putus asa. "Alda mencintai dia dan harus melepaskan dia. Tapi tidak mungkin untuk melupakan Alden, mengikhlaskan dia untuk hilang."

Ibu menggeleng, "Alden tidak hilang."

"Perpisahan ini Bu..."

"Dia masih ada, walaupun wujudnya berbeda."

Aku menatap Ibu meminta penjelasan lebih.

"Dia bukan lagi sosok yang bisa kamu sentuh, tapi dia hadir untuk kamu dalam bentuk kenangan." Jelas Ibu.

"Apa boleh Alda menghadirkan dia Bu?" Kusuarakan yang menjadi ketakutanku. "Dan bagaimana akhirnya jika dia benar-benar hilang seluruhnya?"

"Kenapa harus tidak boleh, jika itu milik Alda sendiri. Semua yang ada pada Alda adalah milik Alda, begitu juga yang berada di ingatan, itu kenangan milik kamu." Ibu memberikanku jawaban. "Jika dia benar-benar hilang..." menjedanya.

Aku terdiam.

"Apa Alda yakin dia akan hilang?" Tanya Ibu padaku.

Kali ini aku benar-benar membatu.

"Alda," panggilnya.

"Dia tidak akan hilang Bu."

"Kamu harus ikhlas. Tidak harus sekarang, mungkun nanti. Tidak perlu terburu-buru asal jangan selamanya." Jelas Ibu. "Ibu tahu, Alda tahu Tuhan selalu punya rencana terbaik untuk kamu."

Aku memeluk Ibu, dia membalas pelukanku hangat. Mengusap kepalaku penuh sayang dan kurindukan.

Aku menemukan jawaban yang sebenar-benarnya. Jika tak bisa sekarang, mungkin nanti, perlahan tapi tak selamanya. Ibu juga benar, Tuhan punya rencana terbaik untuk umatnya, lalu apa lagi yang harus kukhawatirkan.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Kamis, 29 Juli 2021

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang