Step 31 : Akankah

94 18 5
                                    

Aku benar-benar memulai hidup tanpa seorang Alden. Ini hari keduaku, semoat lupa dan berniat mengabari pria itu bahwa aku akan pulang ke Brebes. Namun, tak menemukan kontaknya di ponselku, lalu aku ingat. Tepat di tanggal 31 aku telah meninggalkannya.

Kini aku terduduk di kursi tunggu Stasiun Gambir, menunggu kereta jurusan Jakarta-Tegal yang akan menurunkanku di Brebes untuk pulang ke rumah.

Masih dengan tangisku yang rasanya tak kunjung berujung. Semua masih sulit kuterima dan terasa begitu menyakitkan. Tak tahu pasti apakah akan kutemukan muaraku kesedihanku.

Aku tak tahu sebanyak apa air mata yang kupunya, tak kunjung habis dan masih terus meluap. Bahkan hingga sampai di tujuanku, turun dari kereta aku memilih berjalan dari stasiun menuju ke rumah. Tak begitu jauh, dan masih cukup siang ketika sampai di rumah. Aku pernah melakukannya juga bersama Alden.

Semua ini terjadi dengan pemikiran matang, aku punya lima belas hari. Aku punya banyak rencana, namun tak cukup jelas mengurutkannya. Aku kehilangan sosok Alda yang selalu tertata hasil didikan Ibu. Aku tak pernah merasa sekacau ini. Lima belas hari dan kuputuskan pulang ke rumah sebelum pergi ke tempat yang lebih jauh kemudian.

Sampai di rumah dan tak menemukan Bapak atau Ibu. Bi Las bilang mereka masih di kantornya masing-masing. Aku merasa cukup lega dan cukup punya waktu untuk menangis.

Aku diam dia kamar, mengurung diri. Menutup pintu dan menangis tersedu-sedu lagi. Menangisi hal-hal yang bagiku tak percuma tapi tak ada jawabnya.

Kupeluk jaket Alden yang pria itu tinggalkan di apartemenku. Menghirupnya dengan hidung setengah tersumbat, wangi pria itu masih kurasakan disana. Dia terlalu sulit, benar-benar sulit kulepaskan.

Air mataku terus menetes, kali ini di atas sajadah ketika mendengar percakapan Ibu yang baru pulang dengan Bi Las.

"Alda pulang Bi?" Suara Ibu terdengar di ruang tengah, di depan pintu kamarku.

"Nggih Bu, tadi siang jam 1 sampai ke rumah." Jawab Bi Las.

Tak ada lagi suara Ibu, atau susulan pintu kamarku yang dibukanya.

Aku terus diam di kamarku. Meringkuk di atas ranjang masih dengan mukenah yang tak kulepas, masih dengan lelehan air mata yang tak kunjung reda, dan dengan bibir yang bergetar menahan tangis.

Aku selalu merindukan pria itu. Ingin sekali menelfon Tante Rianti, tapi sadar diri.

Suara azan Isya berkumandang, kujalankan kewajibanku. Lalu, kembaliku pada larut tangis.

Suara ketukan pintu kamar kusahuti.

"Alda ayo makan, sudah Ibu siapkan."

Aku membersihkan kerongkonganku sebelum menjawab Bapak dengan suara sengau. "Bapak dan Ibu saja, Alda masih kenyang Pak."

Tak ada lagi suara Bapak berbicara, yang terdengar hanya helaan napasnya.

Bapak tahu apa yang terjadi padaku. Semua rencana yang kupunya kusampaikan juga pada Bapak. Tentang apa yang menimpa Alden, dia juga mungkin tahu tanpa perlu kuberi tahu melalui televisi dan internet, berita hangat yang tengah diperbincangkan.

Aku benar-benar menghawatirkannya, juga diriku sendiri. Apakah aku bisa tanpa dia lagi. Apakah aku masih baik-baik saja senantiasa sendirian setelah meninggalkannya. Apakah dia akan baik-baik saja tanpaku. Bagaimana Alden akan berjalan tanpaku.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Kamis, 29 Juli 2021

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang