"Terima kasih Alda, sukses selalu untuk studi kamu. Semoga saat nanti kamu kembali saya masih bisa bekerja dengan kamu. Rumah sakit ini pasti menantikan seorang nursing forensic." Ujar Bu Hanun selaku kepala perawat di rumah sakit tempatku bekerja.
"Saya yang berterima kasih Bu, atas bimbingan dan bantuan Ibu selama ini. Terima kasih banyak."
Menjabat tangan Bu Hanun penuh hormat. Perempuan ramah yang sudah menginjak angka lima puluh tahun itu bahkan tanpa segan memelukku, kubalas pelukannya. Sempat kuucapkan terima kasih sebelum melangkah ke luar dari ruangannya.
Ini adalah hari terakhirku bekerja di rumah sakit ini. Sebenarnya adalah kemarin, hari ini aku datang hanya untuk berpamitan pada beberapa rekan kerja, senior, Bu Hanun selaku kepala perawat dan beberapa orang penting lainnya. Kemarin aku sudah membawa barang-barangku yang tersisa.
Cukup berat dan cukup membuatku kembali merasa sedih melepaskan pekerjaanku disini. Sudah lima tahun aku bekerja disini, tak cukup banyak tapi membuatku cukup memahami tempat ini dan segala isinya. Sirine yang menggaung, luka tembakan yang tak terduga, cerita mistis yang kadang menggelitik, rekan-rekan yang menghibur dan di tempat ini juga Tuhan mempertemukanku dengan Alden.
Aku berjalan menyusuri lorong, sesekali menyapa beberapa orang yang kukenal dan tersenyum ramah. Mencermati beberapa bangunan lalu hatiku bergumam, Inara pernah jatuh di sana, dokter Lida pernah memanggilku kesana, kepala bangsal bedah pernah tanpa sengaja menabrakku yang mendorong kereta obat.
Langkahku berhenti di depan apotik, duduk di kursi tunggu yang kali ini begitu sepi. Aku menunggu seseorang disini, tapi tampaknya aku datang terlalu cepat. Sembari menunggu, kurasakan getaran terasa dari ponselku.
Aku tersenyum, menjumpai nama Alden disana. Akhirnya dia menelfoku, aku tak akan menghubunginya lebih dulu di saat seperti ini. Terlalu takut menganggunya dan memecah konsentrasi atas pekerjaannya.
"Saya menunggu kamu, Mas." Ucapku lebih dulu.
Dia tertawa disana. "Maaf membuat kamu menunggu, tapi disini sangat sibuk dan harus berpindah-pindah tempat."
Aku tahu, dan memahaminya.
"Sekarang sedang sedikit lengang, saya menyempatkan untuk menelfon kamu." Dia memang seperhatian itu. "Kamu sudah makan Alda?"
Aku melirik jam dipergelangan tanganku. "Sebentar lagi, saya sedang menunggu Nara. Kamu sudah makan siang Mas?"
"Sudah," jawabnya.
"Sarapan?"
"Saya sarapan di Semarang dan Makan siang di Purwakarta."
"Oh ya, saya ingin ikut dengan kamu."
Lagi dia tergelak, "lain kali ayo cari waktu untuk kita atur perjalanan jarak jauh."
Aku tak bisa mengiyakan dan menolaknya. "Kapan kamu kembali?"
"Sedikit lagi semua urusan selesai, nanti sore adalah kunci dari semuanya. Doakan semaunya lancar."
"Aamiin, saya mendoakan keselamatan kamu." Jawabku.
"Alda..."
"Iya Mas," kusauti panggilannya. "Ada yang mengganggu kamu?"
"Saya hanya merasa perlu meningkatkan kehati-hatian."
Aku mendengar kegundahan dalam suaranya. Tak biasanya sosok percaya diri itu mengeluarkan kalimat semacam itu.
"Kamu memang perlu, kamu perlu banyak berhati-hati karena ada banyak orang yang menunggu kamu dan menginginkan keselamatan kamu. Kamu harus baik-baik saja karena ada banyak orang yang memerlukan bantuan kamu." Aku berusaha menenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...